MENGALAHKAN
KESESATAN AGAMA SYIAH HANYA DENGAN 10 LOGIKA SEDERHANA
(Khazanah
Islam Trans 7)
LOGIKA 1: “Nabi dan Ahlul Bait”
Tanyakan kepada orang Syiah: “Apakah Anda
mencintai dan memuliakan Ahlul Bait Nabi?” Dia pasti akan menjawab: “Ya! Bahkan
mencintai Ahlul Bait merupakan pokok-pokok akidah kami.” Kemudian tanyakan
lagi: “Benarkah Anda sungguh-sungguh mencintai Ahlul Bait Nabi?” Dia tentu akan
menjawab: “Ya, demi Allah!”
Lalu katakan kepada dia: “Ahlul Bait Nabi
adalah anggota keluarga Nabi. Kalau orang Syiah mengaku sangat mencintai Ahlul
Bait Nabi, seharusnya mereka lebih mencintai sosok Nabi sendiri? Bukankah sosok
Nabi Muhammad Shallallah ‘Alaihi Wasallam lebih utama daripada Ahlul Bait-nya?
Mengapa kaum Syiah sering membawa-bawa nama Ahlul Bait, tetapi kemudian
melupakan Nabi?”
Faktanya, ajaran Syiah sangat didominasi oleh
perkataan-perkataan yang katanya bersumber dari Fathimah, Ali, Hasan, Husein,
dan anak keturunan mereka. Kalau Syiah benar-benar mencintai Ahlul Bait,
seharusnya mereka lebih mendahulukan Sunnah Nabi, bukan sunnah dari Ahlul Bait
beliau. Syiah memuliakan Ahlul Bait karena mereka memiliki hubungan dekat
dengan Nabi. Kenyataan ini kalau digambarkan seperti: “Lebih memilih kulit
rambutan daripada daging buahnya.”
LOGIKA 2: “Ahlul Bait dan Isteri Nabi”
Tanyakan kepada orang Syiah: “Siapa saja yang
termasuk golongan Ahlul Bait Nabi?” Nanti dia akan menjawab: “Ahlul Bait Nabi
adalah Fathimah, Ali, Hasan, Husein, dan anak-cucu mereka.” Lalu tanyakan lagi:
“Bagaimana dengan isteri-isteri Nabi seperti Khadijah, Saudah, Aisyah, Hafshah,
Zainab, Ummu Salamah, dan lain-lain? Mereka termasuk Ahlul Bait atau bukan?”
Dia akan mengemukakan dalil, bahwa Ahlul Bait Nabi hanyalah Fathimah, Ali,
Hasan, Husein, dan anak-cucu mereka.
Kemudian tanyakan kepada orang itu: “Bagaimana
bisa Anda memasukkan keponakan Nabi (Ali) sebagai bagian dari Ahlul Bait,
sementara isteri-isteri Nabi tidak dianggap Ahlul Bait? Bagaimana bisa
cucu-cucu Ali yang tidak pernah melihat Rasulullah dimasukkan Ahlul Bait,
sementara isteri-isteri yang biasa tidur seranjang bersama Nabi tidak dianggap
Ahlul Bait? Bagaimana bisa Fathimah lahir ke dunia, jika tidak melalui isteri
Nabi, yaitu Khadijah Radhiyallahu ‘Anha? Bagaimana bisa Hasan dan Husein lahir
ke dunia, kalau tidak melalui isteri Ali, yaitu Fathimah? Tanpa keberadaan para
isteri shalihah ini, tidak akan ada yang disebut Ahlul Bait Nabi.”
Faktanya, dalam Surat Al Ahzab ayat 33
disebutkan: “Innama yuridullahu li yudzhiba ‘ankumul rijsa ahlal baiti wa
yuthah-hirakum that-hira.” (bahwasanya Allah menginginkan menghilangkan dosa
dari kalian, para ahlul bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya). Dalam ayat
ini isteri-isteri Nabi masuk kategori Ahlul Bait, menurut Allah Subhanahu Wa
Ta’ala. Bahkan selama hidupnya, mereka mendapat sebutan Ummul Mu’minin (ibunda
orang-orang Mukmin) Radhiyallahu ‘Anhunna.
LOGIKA 3: “Islam dan Sahabat”
Tanyakan kepada orang Syiah: “Apakah Anda
beragama Islam?” Maka dia akan menjawab dengan penuh keyakinan: “Tentu saja,
kami adalah Islam. Kami ini Muslim.” Lalu tanyakan lagi ke dia: “Bagaimana cara
Islam sampai Anda, sehingga Anda menjadi seorang Muslim?” Maka orang itu akan
menerangkan tentang silsilah dakwah Islam. Dimulai dari Rasulullah, lalu para
Shahabatnya, lalu dilanjutkan para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, lalu
dilanjutkan para ulama Salafus Shalih, lalu disebarkan oleh para dai ke seluruh
dunia, hingga sampai kepada kita di Indonesia.”
Kemudian tanyakan ke dia: “Jika Anda
mempercayai silsilah dakwah Islam itu, mengapa Anda sangat membenci para
Shahabat, mengutuk mereka, atau menghina mereka secara keji? Bukankah Anda
mengaku Islam, sedangkan Islam diturunkan kepada kita melewati tangan para
Shahabat itu. Tidak mungkin kita menjadi Muslim, tanpa peranan Shahabat. Jika
demikian, mengapa orang Syiah suka mengutuk, melaknat, dan mencaci-maki para
Shahabat?”
Faktanya, kaum Syiah sangat membingungkan.
Mereka mencaci-maki para Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum dengan sangat keji.
Tetapi di sisi lain, mereka masih mengaku sebagai Muslim. Kalau memang benci
Shahabat, seharusnya mereka tidak lagi memakai label Muslim. Sebuah adagium
yang harus selalu diingat: “Tidak ada Islam, tanpa peranan para Shahabat!”
LOGIKA 4: “Seputar Imam Syiah”
Tanyakan kepada orang Syiah: “Apakah Anda
meyakini adanya imam dalam agama?” Dia pasti akan menjawab: “Ya! Bahkan imamah
menjadi salah satu rukun keimanan kami.” Lalu tanyakan lagi: “Siapa saja
imam-imam yang Anda yakini sebagai panutan dalam agama?” Maka mereka akan
menyebutkan nama-nama 12 imam Syiah. Ada juga yang menyebut 7 nama imam (versi
Ja’fariyyah).
Lalu tanyakan kepada orang Syiah itu: “Mengapa
dari ke-12 imam Syiah itu tidak tercantum nama Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Syafi’i, dan Imam Hanbali? Mengapa nama empat imam itu tidak masuk dalam
deretan 12 imam Syiah? Apakah orang Syiah meragukan keilmuan empat imam madzhab
tersebut? Apakah ilmu dan ketakwaan empat imam madzhab tidak sepadan dengan 12
imam Syiah?”
Faktanya, kaum Syiah tidak mengakui empat imam
madzhab sebagai bagian dari imam-imam mereka. Kaum Syiah memiliki silsilah
keimaman sendiri. Terkenal dengan sebutan “Imam 12″ atau Imamah Itsna Asyari.
Hal ini merupakan bukti besar, bahwa Syiah bukan Ahlus Sunnah. Semua Ahlus
Sunnah di muka bumi sudah sepakat tentang keimaman empat Imam tersebut. Para
ahli ilmu sudah mafhum, jika disebut Al Imam Al Arba’ah, maka yang dimaksud
adalah empat imam madzhab rahimahumullah.
LOGIKA 5: “Allah dan Imam Syiah”
Tanyakan kepada orang Syiah: “Siapa yang lebih
Anda taati, Allah Ta’ala atau imam Syiah?” Tentu dia akan akan menjawab: “Jelas
kami lebih taat kepada Allah.” Lalu tanyakan lagi: “Mengapa Anda lebih taat
kepada Allah?” Mungkin dia akan menjawab: “Allah adalah Tuhan kita, juga Tuhan
imam-imam kita. Maka sudah sepantasnya kita mengabdi kepada Allah yang telah
menciptakan imam-imam itu.”
Kemudian tanyakan ke orang itu: “Mengapa dalam
kehidupan orang Syiah, dalam kitab-kitab Syiah, dalam pengajian-pengajian
Syiah; mengapa Anda lebih sering mengutip pendapat imam-imam daripada pendapat
Allah (dari Al Qur’an)? Mengapa orang Syiah jarang mengutip dalil-dalil dari
Kitab Allah? Mengapa orang Syiah lebih mengutamakan perkataan imam melebihi Al
Qur’an?”
Faktanya, sikap ideologis kaum Syiah lebih
dekat ke kemusyrikan, karena mereka lebih mengutamakan pendapat manusia
(imam-imam Syiah) daripada ayat-ayat Allah. Padahal dalam Surat An Nisaa’ ayat
59 disebutkan, jika terjadi satu saja perselisihan, kembalikan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Itulah sikap Islami, bukan melebihkan pendapat imam di atas
perkataan Allah.
LOGIKA 6: “Ali dan Jabatan Khalifah”
Tanyakan kepada orang Syiah: “Menurut Anda,
siapa yang lebih berhak mewarisi jabatan Khalifah setelah Rasulullah wafat?”
Dia pasti akan menjawab: “Ali bin Abi Thalib lebih berhak menjadi Khalifah.”
Lalu tanyakan lagi: “Mengapa bukan Abu Bakar, Umar, dan Ustman?” Maka
kemungkinan dia akan menjawab lagi: “Menurut riwayat saat peristiwa Ghadir
Khum, Rasulullah mengatakan bahwa Ali adalah pewaris sah Kekhalifahan.”
Kemudian katakan kepada orang Syiah itu: “Jika
memang Ali bin Abi Thalib paling berhak atas jabatan Khalifah, mengapa selama
hidupnya beliau tidak pernah menggugat kepemimpinan Khalifah Abu Bakar,
Khalifah Umar, dan Khalifah Utsman? Mengapa beliau tidak pernah menggalang
kekuatan untuk merebut jabatan Khalifah? Mengapa ketika sudah menjadi Khalifah,
Ali tidak pernah menghujat Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Ustman, padahal dia
memiliki kekuasaan? Kalau menggugat jabatan Khalifah merupakan kebenaran, tentu
Ali bin Abi Thalib akan menjadi orang pertama yang melakukan hal itu.”
Faktanya, sosok Husein bin Ali Radhiyallahu
‘Anhuma berani menggugat kepemimpinan Dinasti Umayyah di masa Yazid bin
Muawiyyah, sehingga kemudian terjadi Peristiwa Karbala. Kalau putra Ali berani
memperjuangkan apa yang diyakininya benar, tentu Ali Radhiyallahu ‘Anhu lebih
berani melakukan hal itu.
LOGIKA 7: “Ali dan Husein”
Tanyakan ke orang Syiah: “Menurut Anda, mana
yang lebih utama, Ali atau Husein?” Maka dia akan menjawab: “Tentu saja Ali bin
Abi Thalib lebih utama. Ali adalah ayah Husein, dia lebih dulu masuk Islam,
terlibat dalam banyak perang di zaman Nabi, juga pernah menjadi Khalifah yang
memimpin Ummat Islam.” Atau bisa saja, ada pendapat di kalangan Syiah bahwa
kedudukan Ali sama tingginya dengan Husein.
Kemudian tanyakan ke dia: “Jika Ali memang
dianggap lebih mulia, mengapa kaum Syiah membuat peringatan khusus untuk
mengenang kematian Husein saat Hari Asyura pada setiap tanggal 10 Muharram?
Mengapa mereka tidak membuat peringatan yang lebih megah untuk memperingati
kematian Ali bin Abi Thalib? Bukankah Ali juga mati syahid di tangan manusia
durjana? Bahkan beliau wafat saat mengemban tugas sebagai Khalifah.”
Faktanya, peringatan Hari Asyura sudah seperti
“Idul Fithri” bagi kaum Syiah. Hal itu untuk memperingati kematian Husein bin
Ali. Kalau orang Syiah konsisten, seharusnya mereka memperingati kematian Ali
bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu lebih dahsyat lagi.
Logika 8: “Syiah dan Wanita”
Tanyakan ke orang Syiah: “Apakah dalam
keyakinan Syiah diajarkan untuk memuliakan wanita?” Dia akan menjawab tanpa
keraguan: “Tentu saja. Kami diajari memuliakan wanita, menghormati mereka, dan
tidak menzhalimi hak-hak mereka?” Lalu tanyakan lagi: “Benarkah ajaran Syiah
memberi tempat terhormat bagi kaum wanita Muslimah?” Orang itu pasti akan
menegaskan kembali.
Kemudian katakan ke orang Syiah itu: “Jika
Syiah memuliakan wanita, mengapa mereka menghalalkan nikah mut’ah? Bukankah
nikah mut’ah itu sangat menzhalimi hak-hak wanita? Dalam nikah mut’ah, seorang
wanita hanya dipandang sebagai pemuas seks belaka. Dia tidak diberi hak-hak
nafkah secara baik. Dia tidak memiliki hak mewarisi harta suami. Bahkan kalau
wanita itu hamil, dia tidak bisa menggugat suaminya jika ikatan kontraknya
sudah habis. Posisi wanita dalam ajaran Syiah, lebih buruk dari posisi hewan
ternak. Hewan ternak yang hamil dipelihara baik-baik oleh para peternak.
Sedangkan wanita Syiah yang hamil setelah nikah mut’ah, disuruh memikul resiko
sendiri.”
Faktanya, kaum Syiah sama sekali tidak memberi
tempat terhormat bagi kaum wanita. Hal ini berbeda sekali dengan ajaran Sunni.
Di negara-negara seperti Iran, Irak, Libanon, dll. praktik nikah mut’ah marak
sebagai ganti seks bebas dan pelacuran. Padahal esensinya sama, yaitu menghamba
seks, menindas kaum wanita, dan menyebarkan pintu-pintu kekejian. Semua itu
dilakukan atas nama agama. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.
LOGIKA 9: “Syiah dan Politik”
Tanyakan ke orang Syiah: “Dalam pandangan
Anda, mana yang lebih utama, agama atau politik?” Tentu dia akan berkata:
“Agama yang lebih penting. Politik hanya bagian dari agama.” Lalu tanyakan
lagi: “Bagaimana kalau politik akhirnya mendominasi ajaran agama?” Mungkin dia
akan menjawab: “Ya tidak bisa. Agama harus mendominasi politik, bukan politik
mendominasi agama.”
Lalu katakan ke orang Syiah itu: “Kalau
perkataan Anda benar, mengapa dalam ajaran Syiah tidak pernah sedikit pun
melepaskan diri dari masalah hak Kekhalifahan Ali, tragedi yang menimpa Husein
di Karbala, dan kebencian mutlak kepada Muawiyyah dan anak-cucunya? Mengapa
hal-hal itu sangat mendominasi akal orang Syiah, melebihi pentingnya urusan
akidah, ibadah, fiqih, muamalah, akhlak, tazkiyatun nafs, ilmu, dll. yang
merupakan pokok-pokok ajaran agama? Mengapa ajaran Syiah menjadikan masalah dendam
politik sebagai menu utama akidah mereka melebihi keyakinan kepada Sifat-Sifat
Allah?”
Faktanya, ajaran Syiah merupakan contoh
telanjang ketika agama dicaplok (dianeksasi) oleh pemikiran-pemikiran politik.
Bahkan substansi politiknya terfokus pada sikap kebencian mutlak kepada
pihak-pihak tertentu yang dianggap merampas hak-hak imam Syiah. Dalam hal ini
akidah Syiah mirip sekali dengan konsep Holocaust yang dikembangkan Zionis
internasional, dalam rangka memusuhi Nazi sampai ke akar-akarnya. (Bukan berarti
pro Nazi, tetapi disana ada sisi-sisi kesamaan pemikiran).
LOGIKA 10. “Syiah dan Sunni”
Tanyakan ke orang Syiah: “Mengapa kaum Syiah
sangat memusuhi kaum Sunni? Mengapa kebencian kaum Syiah kepada Sunni, melebihi
kebencian mereka kepada orang kafir (non Muslim)?” Dia tentu akan menjawab:
“Tidak, tidak. Kami bersaudara dengan orang Sunni. Kami mencintai mereka dalam
rangka Ukhuwwah Islamiyyah. Kita semua bersaudara, karena kita sama-sama
mengerjakan Shalat menghadap Kiblat di Makkah. Kita ini sama-sama Ahlul
Qiblat.”
Kemudian katakan ke dia: “Kalau Syiah
benar-benar mau ukhuwwah, mau bersaudara, mau bersatu dengan Sunni; mengapa
mereka menyerang tokoh-tokoh panutan Ahlus Sunnah, seperti Khalifah Abu Bakar,
Khalifah Umar, Khalifah Utsman, isteri-isteri Nabi (khususnya Aisyah dan
Hafshah), Abu Hurairah, Zubair, Thalhah, dan lain-lain? Mencela, memaki,
menghina, atau mengutuk tokoh-tokoh itu sama saja dengan memusuhi kaum Sunni.
Tidak pernah ada ukhuwwah atau perdamaian antara Sunni dan Syiah, sebelum Syiah
berhenti menista para Shahabat Nabi, selaku panutan kaum Sunni.”
Fakta yang perlu disebut, banyak terjadi
pembunuhan, pengusiran, dan kezhaliman terhadap kaum Sunni di Iran, Irak,
Suriah, Yaman, Libanon, Pakistan, Afghanistan, dll. Hal itu menjadi bukti besar
bahwa Syiah sangat memusuhi kaum Sunni. Hingga anak-anak Muslim asal Palestina
yang mengungsi di Irak, mereka pun tidak luput dibunuhi kaum Syiah. Hal ini
pula yang membuat Syaikh Qaradhawi berubah pikiran tentang Syiah. Jika semula
beliau bersikap lunak, akhirnya mengakui bahwa perbedaan antara Sunni dan Syiah
sangat sulit disatukan. Dalam lintasan sejarah kita mendapati bukti lain, bahwa
kaum Syiah tidak pernah terlibat perang melawan negara-negara kufar. Justru
mereka sering bekerjasama dengan negara kufar dalam rangka menghadapi kaum
Muslimin. Hancurnya Kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad, sikap permusuhan
Dinasti Shafawid di Mesir, era Perang Salib di masa Shalahuddin Al Ayyubi,
serta Khilafah Turki Utsmani, di atas semua itu terekam fakta-fakta
pengkhianatan Syiah terhadap kaum Muslimin. Begitu juga, jatuhnya Afghanistan
dan Iraq ke tangan tentara Sekutu di era modern, tidak lepas dari jasa-jasa
para anasir Syiah dari Iran.