Rabu, 08 Mei 2013

ADAT PANTANG LARANG


ADAT PANTANG LARANG
(adatku pusakaku)
“ Semua Ada Baiknya ’’
Oleh: Jessy Latni Gusniarta
SMAN PINTAR KAB. KUANSING

Pantang Larang Orang Melayu Tradisional merupakan kepercayaan masyarakat Melayu zaman lampau berkaitan dengan adat dan budaya warisan nenek moyang. Kebanyakan adalah bertujuan untuk mendidik masyarakat agar mengamalkan nilai-nilai murni dalam kehidupan. Apa yang disebut bukan untuk dipercayai tetapi untuk dihayati maksud yang tersembunyi di sebalik  pantang larang yang telah diperturunkan secara lisan sejak zaman berzaman. Hal ini mengingatkanku dengan kisah kehidupanku di bumi Riau ini.
Pagi ini kabut masih menyelimuti desaku, aroma pedesaan sangat kurasakan. Terhirup udara segar yang memberikanku semangat untuk terus berkarya dan menjalani hari-hariku dengan penuh ceria. Sang surya kembali menyapaku dengan  sinarnya yang mempesona, menghangatkan pelosok negeri Riau ini. Ku buka jendela kamar pagi ini menyambut datangya pagi dan kukatakan selamat pagi negriku. Sesaat terlihat bangunan tua di pojok kananku. Seperti biasanya aku ingin pergi kesana tetapi tidak pagi ini, karena aku harus melaksanakan kewajibanku sebagai pelajar yang terus menuntut ilmu sungguh-sungguh agar kelak akulah yang menjadi tombak negeri betuah ini.
 “Emak, aku berangkat ke sekolah dulu ya” kataku sambil meyalami emak seperti biasa.

            Aku selalu pergi berjalan kaki. Tak hanya aku yang berjalan kaki, teman- teman seumurku juga setiap harinya pergi berjalan kaki. Setiap pagi kami selalu pergi bersama, tawa canda, senda gurau selalu mememaniku saatku bersama mereka. Rambutku yang selalu dikepang dua seperti ekor kuda melambai oleh tiupan angin pagi. Sesampainya di sekolah aku selalu menyapa pak Norman yang sedang menyiram tanaman disekolahku. Aktivitas disekolah  terasa begitu lelah, namun aku tak pernah putus asa untuk selalu berprestasi.
Sepulangnya dari sekolah, perutku mengeluarkan bunyi
 “Krek”, cacing diperutku sudah ingin makan.
“Emak, hari ini emak masak masakan apa?”
“Emak masak masakan kesukaanmu, ikan tri campur kacang tanah dan juga telur asin’’ jawabnya sambil menyodorkan kepadaku.
“Wah, lezat kelihatannya’’ jawabku senang. Tak pikir panjang, ku ambil sepiring nasi dan ku santap di depan pintu sambil merasakan tiupan angin dan sejuknya pepohonan di depan rumahku. Saat ku sedang asyiknya makan, emak menegurku dan ia berkata
 “Siti, tidak baik anak gadis makan di depan pintu, nanti kamu tidak dapat jodoh’’.
 “Tidak dapat jodoh mak? masak gara-gara makan di depan pintu aku kelak tak dapat jodoh mak’’ kataku bingung.
“Iya, kata orang-orang tua  dahulu memang seperti itu adanya nak, bagaimana nanti kamu tak dapat jodoh?’’
Emak kembali melontarkan adat pantang larang negeri melayu. Aku tidak mengerti. Hatiku selalu bertanya, apa hubungan makan di depan pintu  dengan tidak dapat jodoh. Aku rasa itu hanya mitos lama turunan nenek moyang akan adanya adat pantang larang itu. Aku pikir, itu tidak diperbolehkan karena dapat mengganggu orang untuk berjalan. Ya agar emak tidak mengomel lagi, aku berkata
“Ya sudah mak, aku tidak akan makan di depan pintu lagi”. Kembali aku berkata,
 ”Emak! Selalu saja begitu. Apa tidak ada perkataan lain? Kalau benar aku tidak dapat jodoh bagaimana? Ini menjadi pertanggungjawaban Mak!”, gerutuku.
“Makanya kamu  jangan lagi makan di depan pintu”.
 “Ya, baiklah, Mak!” jawabku sambil menyuci piring.
“Siti, bereskan sisa(rima)  makananmu ini? anak gadis makannya berima nanti kulitmu berkutil’’ kata emak sambil tersenyum.
“Ih, emak ada-ada saja’’.
“Ya emak, akan siti bereskan semuanya’’.
Setelah perutku penuh oleh masakan lezat buatan emakku dan rumahku telah selesai aku bersihkan. Seperti biasanya aku ingin menyegarkan kembali pikiranku dengan berkunjung ke bangunan tua, Candi Muara takus namanya. Candi ini dahulunya singgasana raja. Terlintas dipikanku saat sedang menikmati indahnya panorama disekitarnya, aku dapat menemukan raja yang gagah perwira. Saat aku sedang melihat-lihat bangunan itu, aku yang berjalan mundur terkejut saat langkah ku terhenti. Ku palingkan pandanganku kearah belakang punggungku, terlihat sosok pemuda berbaju kuning mengenakan peci dan menyandang sebuah kamera, berparas tampan.  Sepertinya dia seorang fotografer.
“Maaf nona, saya tidak sengaja’’katanya lembut.
“Tidak apa-apa tuan. Sedang apa tuan disini?” tanyaku ingin tahu.
“Saya sedang mengamati bangunan ini, saya ingin mengetahui sejarah bangunan ini, konon katanya bagunan ini peninggalaan sebuah kerajaan, bukan?” Tanyanya .
“Benar, bangunan ini merupakan salah satu situs sejarah negeri riau ini, bangunan ini memiliki ceritera akan kehidupan raja-raja melayu dahulu kala’’.
“Saya tertarik mendengar ceritera dan sejarah bangunan ini, maukah nona memperdengarkan cerita itu kepada saya?” tanyanya sopan.
“Dengan senang hati, tuan’’ jawabku malu.
“Tetapi, maaf saya belum mengetahui siapa nama nona ini? seperti pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. Sebelumnya nama saya fitra ”.
“Nama  saya siti, senang berjumpa dengan tuan. Karena sebentar lagi akan magrib, saya ingin pulang. Sebab emak saya selalu mengingatkan kepada saya bahwa anak gadis tidak baik diluar rumah saat magrib datang’’.
“Baiklah, sampai jumpa esok’’ katanya sambil melambaikan tangan.
Malam tiba tak kusapa, namun semakin larut semakin indah. Berhiaskan macam-macam rasi bintang yang menyinari malam yang kelam. Tak lupa pula, sinar bulan merangkak memunculkan diri, keluar dari peraduannya. Sendiriku ini teringat akan adanya pemuda itu. Terselip di pandanganku sesaat melihat bintang bergemerlapan di langit itu, wajahnya yang tampan terbayang- bayang oleh ku.
 “Ah, apa ini, mengapa aku bisa teringat akan pemuda itu, aku tak boleh terlihat sangat menganguminya sebagai seorang gadis hendaknya aku layaknya jinak- jinak merpati’’ terlintas dipikiranku dan ku tersenyum simpul.
Keesokan harinya. Sang surya kembali muncul. Seperti biasa, ku kembali membuka jendela kamarku menyambut datangnya pagi. Pagi ini aku tidak pergi sekolah seperti biasanya, karena hari ini adalah hari liburku. Aku berlari sambil menghirup pagiku yang bernyawa menuju bangunan itu. Tampak pemuda itu sedang mengambil foto bagian terbaik dari bangunan itu. Aku mendekati dan menyapanya.
“Selamat pagi, tampaknya tuan sedang asyik mengambil gambar bangunan ini’’ kataku sambil menebar senyum.
“Selamat pagi juga nona manis, ia kelihatannya bangunan ini sangat bersejarah dan indah untuk di ambil gambarnya, apalagi jika ada objek untuk di foto” katanya santai.
Ku balas dengan senyuman perkataanya itu. “Nona, saya ingin mendengar ceritera tentang candi ini’’ katanya sambil menatap mataku.
“Baiklah tuan, saya akan menceritakanya kepada tuan’’.
Lama bercerita, telah banyak tahu pemuda itu tentang ceritera candi itu. Kemudian pemuda itu mengajakku untuk berfoto-foto di sisi terbaik candi itu. Aku terima ajakannya. Aku begitu cepat akrab denganya. Terasa seperti sudah lama mengenalnya dan Tidak sedikit pun terasa canggung berhadapan dengannya. Kami tertawa, bergurau dan berfoto bersama hingga senja hari datang. Rasanya sangat puas. Momen ini tidak akan pernah kulupakan untuk selamanya. Aku sangat senang akan kedatangannya. Hari-hariku terisi penuh warna cemerlang seperti pelangi penuhi langit disaat berganti cuaca. Aku sangat bahagia mendengar dia mengucapkan,
 “Pemandangan di Negri ini sangat indah, karena ada dirimu yang selalu beri senyum manismu untuk negri ini. Aku menyukai panorama, bangunan dan orang-orang disekitarnya”. Perkataan itu membuatku hatiku berbunga-bunga. Malam itu, tidurku terasa sangat nyenyak.
   Saat pulang setelah seharian berkeliling menikmati panorama indahnya negeri melayu ini. Rasa lapar pun aku  rasakan. Perutku ingin juga dimanjakan dengan hidangan yang lezat buatan emakku. Seperti biasaya aku mengambil sepiring nasi dan ku santap di depan pintu. Saat aku sedang asyik menyantap makanan itu. Lagi- lagi emak berkata kepadaku bahwa anak gadis itu tidak baik makan di dekat pintu, karena nanti tidak dapat jodoh. Selalu saja perkataan itu dilontarkan kepadaku. Aku tidak mengerti adat pantang larang negeri melayu. Aku rasa, itu tidak ada hubungannya. Aku kembali memelas ucapan emak.
   Kembali setelah pulang sekolah aku pergi ke kompleks candi itu, untuk bertemu pemuda itu. Namun hari itu aku tidak bertemu dengannya. Aku kembali ke sana esok harinya, kembali seperti kemarin, kembali pemuda itu tak tampak pucuk hidungnya lagi. Entah mengapa, hari ini hatiku tegang menanti kedatangannya kembali. Kuingin hari itu terulang lagi. Terulang untuk yang kedua kalinya. Tetapi, setelah berjam-jam hingga petang, ia tidak kunjung datang. Kembali kuteringat,
“Apa karena adanya adat pantang larang itu? Sehingga ia tidak ditakdirkan untukku! Jikalau semuanya benar, pasti aku akan menuruti semua perkataan emak untuk membersihkan rumah, tidak makan di depan pintu dan kamarku dengan rajin”. Aku semakin bingung dan tidak mengerti apa arti semua ini.
Hatiku bergumam, “Secepat itukah dia melupakanku?”
Hari-hari berikutnya masih saja sama. Dia juga tidak ada. Aku menunggu dengan gelisah. Aku bertanya kepada semua nelayan, tetapi mereka tidak mengenalinya. Aku bahkan juga tidak tahu siapa nama pemuda itu. Pemuda yang membuat hari itu penuh angan-angan. Aku menyesal harus bertemu dan berpisah dengan cara seperti ini. Dia bahkan tidak berpamitan dulu padaku, tidak mengabariku, aku jadi semakin benci. Ku teringat kembali,
 “Apa karena adanya adat pantang larang itu? Sehingga ia tidak ditakdirkan untukku! Jikalau semuanya benar, pasti aku akan menuruti semua perkataan emak untuk makan tidak didepan pintu”.
Semenjak kejadian itu, aku menuruti perkaataan emak, karena emak adalah orang tuaku. Aku akan mengikuti semua perkataan orangtuaku dan aku hanya ingin emak tidak mengomel lagi setiap hari. Dengan begitu, secara otomatis aku mematuhi adat pantang larang negeriku, melayu. Walau sebenarnya aku tidak yakin.

0 komentar:

Posting Komentar