ADAT PANTANG LARANG
(adatku pusakaku)
“ Semua Ada Baiknya ’’
Oleh: Jessy Latni Gusniarta
SMAN PINTAR KAB. KUANSING
Pantang Larang Orang Melayu Tradisional merupakan
kepercayaan masyarakat Melayu zaman lampau berkaitan dengan adat dan budaya
warisan nenek moyang. Kebanyakan adalah bertujuan untuk mendidik masyarakat
agar mengamalkan nilai-nilai murni dalam kehidupan. Apa yang disebut bukan
untuk dipercayai tetapi untuk dihayati maksud yang tersembunyi di sebalik
pantang larang yang telah diperturunkan secara lisan sejak zaman
berzaman. Hal ini mengingatkanku dengan kisah kehidupanku di bumi Riau
ini.
Pagi ini kabut masih menyelimuti desaku, aroma pedesaan sangat
kurasakan. Terhirup udara segar yang memberikanku semangat untuk terus berkarya
dan menjalani hari-hariku dengan penuh ceria. Sang surya kembali menyapaku
dengan sinarnya yang mempesona,
menghangatkan pelosok negeri Riau ini. Ku buka jendela kamar pagi ini menyambut
datangya pagi dan kukatakan selamat pagi negriku. Sesaat terlihat bangunan tua
di pojok kananku. Seperti biasanya aku ingin pergi kesana tetapi tidak pagi
ini, karena aku harus melaksanakan kewajibanku sebagai pelajar yang terus menuntut
ilmu sungguh-sungguh agar kelak akulah yang menjadi tombak negeri betuah ini.
“Emak, aku berangkat ke
sekolah dulu ya” kataku sambil meyalami emak seperti biasa.
Aku selalu pergi berjalan kaki. Tak hanya aku yang berjalan kaki, teman- teman seumurku juga setiap harinya pergi berjalan kaki. Setiap pagi kami selalu pergi bersama, tawa canda, senda gurau selalu mememaniku saatku bersama mereka. Rambutku yang selalu dikepang dua seperti ekor kuda melambai oleh tiupan angin pagi. Sesampainya di sekolah aku selalu menyapa pak Norman yang sedang menyiram tanaman disekolahku. Aktivitas disekolah terasa begitu lelah, namun aku tak pernah putus asa untuk selalu berprestasi.
Sepulangnya dari sekolah, perutku mengeluarkan bunyi
“Krek”, cacing diperutku
sudah ingin makan.
“Emak, hari ini emak masak masakan apa?”
“Emak masak masakan kesukaanmu, ikan tri campur kacang tanah dan
juga telur asin’’ jawabnya sambil menyodorkan kepadaku.
“Wah, lezat kelihatannya’’ jawabku senang. Tak pikir panjang, ku
ambil sepiring nasi dan ku santap di depan pintu sambil merasakan tiupan angin
dan sejuknya pepohonan di depan rumahku. Saat ku sedang asyiknya makan, emak
menegurku dan ia berkata
“Siti, tidak baik anak gadis
makan di depan pintu, nanti kamu tidak dapat jodoh’’.
“Tidak dapat jodoh mak? masak
gara-gara makan di depan pintu aku kelak tak dapat jodoh mak’’ kataku bingung.
“Iya, kata orang-orang tua
dahulu memang seperti itu adanya nak, bagaimana nanti kamu tak dapat
jodoh?’’
Emak kembali melontarkan adat pantang larang negeri melayu. Aku
tidak mengerti. Hatiku selalu bertanya, apa hubungan makan di depan pintu dengan tidak dapat jodoh. Aku rasa itu hanya
mitos lama turunan nenek moyang akan adanya adat pantang larang itu. Aku pikir,
itu tidak diperbolehkan karena dapat mengganggu orang untuk berjalan. Ya agar
emak tidak mengomel lagi, aku berkata
“Ya sudah mak, aku tidak akan makan di depan pintu lagi”. Kembali
aku berkata,
”Emak! Selalu saja begitu.
Apa tidak ada perkataan lain? Kalau benar aku tidak dapat jodoh bagaimana? Ini
menjadi pertanggungjawaban Mak!”, gerutuku.
“Makanya kamu jangan lagi
makan di depan pintu”.
“Ya, baiklah, Mak!” jawabku
sambil menyuci piring.
“Siti, bereskan sisa(rima)
makananmu ini? anak gadis makannya berima nanti kulitmu berkutil’’ kata
emak sambil tersenyum.
“Ih, emak ada-ada saja’’.
“Ya emak, akan siti bereskan semuanya’’.
Setelah perutku penuh oleh masakan lezat buatan emakku dan rumahku
telah selesai aku bersihkan. Seperti biasanya aku ingin menyegarkan kembali
pikiranku dengan berkunjung ke bangunan tua, Candi Muara takus namanya. Candi
ini dahulunya singgasana raja. Terlintas dipikanku saat sedang menikmati
indahnya panorama disekitarnya, aku dapat menemukan raja yang gagah perwira.
Saat aku sedang melihat-lihat bangunan itu, aku yang berjalan mundur terkejut
saat langkah ku terhenti. Ku palingkan pandanganku kearah belakang punggungku,
terlihat sosok pemuda berbaju kuning mengenakan peci dan menyandang sebuah
kamera, berparas tampan. Sepertinya dia
seorang fotografer.
“Maaf nona, saya tidak sengaja’’katanya lembut.
“Tidak apa-apa tuan. Sedang apa tuan disini?” tanyaku ingin tahu.
“Saya sedang mengamati bangunan ini, saya ingin mengetahui sejarah
bangunan ini, konon katanya bagunan ini peninggalaan sebuah kerajaan, bukan?”
Tanyanya .
“Benar, bangunan ini merupakan salah satu situs sejarah negeri riau
ini, bangunan ini memiliki ceritera akan kehidupan raja-raja melayu dahulu kala’’.
“Saya tertarik mendengar ceritera dan sejarah bangunan ini, maukah
nona memperdengarkan cerita itu kepada saya?” tanyanya sopan.
“Dengan senang hati, tuan’’ jawabku malu.
“Tetapi, maaf saya belum mengetahui siapa nama nona ini? seperti
pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta.
Sebelumnya nama saya fitra ”.
“Nama saya siti, senang
berjumpa dengan tuan. Karena sebentar lagi akan magrib, saya ingin pulang. Sebab
emak saya selalu mengingatkan kepada saya bahwa anak gadis tidak baik diluar
rumah saat magrib datang’’.
“Baiklah, sampai jumpa esok’’ katanya sambil melambaikan tangan.
Malam tiba tak kusapa, namun semakin larut semakin indah. Berhiaskan
macam-macam rasi bintang yang menyinari malam yang kelam. Tak lupa pula, sinar
bulan merangkak memunculkan diri, keluar dari peraduannya. Sendiriku ini
teringat akan adanya pemuda itu. Terselip di pandanganku sesaat melihat bintang
bergemerlapan di langit itu, wajahnya yang tampan terbayang- bayang oleh ku.
“Ah, apa ini, mengapa aku
bisa teringat akan pemuda itu, aku tak boleh terlihat sangat menganguminya
sebagai seorang gadis hendaknya aku layaknya jinak- jinak merpati’’ terlintas
dipikiranku dan ku tersenyum simpul.
Keesokan harinya. Sang surya kembali muncul. Seperti biasa, ku
kembali membuka jendela kamarku menyambut datangnya pagi. Pagi ini aku tidak pergi
sekolah seperti biasanya, karena hari ini adalah hari liburku. Aku berlari
sambil menghirup pagiku yang bernyawa menuju bangunan itu. Tampak pemuda itu
sedang mengambil foto bagian terbaik dari bangunan itu. Aku mendekati dan
menyapanya.
“Selamat pagi, tampaknya tuan sedang asyik mengambil gambar bangunan
ini’’ kataku sambil menebar senyum.
“Selamat pagi juga nona manis, ia kelihatannya bangunan ini sangat
bersejarah dan indah untuk di ambil gambarnya, apalagi jika ada objek untuk di
foto” katanya santai.
Ku balas dengan senyuman perkataanya itu. “Nona, saya ingin mendengar
ceritera tentang candi ini’’ katanya sambil menatap mataku.
“Baiklah tuan, saya akan menceritakanya kepada tuan’’.
Lama bercerita, telah banyak tahu pemuda itu tentang ceritera candi
itu. Kemudian pemuda itu mengajakku untuk berfoto-foto di sisi terbaik candi
itu. Aku terima ajakannya. Aku begitu cepat akrab denganya. Terasa seperti
sudah lama mengenalnya dan Tidak sedikit pun terasa canggung berhadapan
dengannya. Kami tertawa, bergurau dan berfoto bersama hingga senja hari datang.
Rasanya sangat puas. Momen ini tidak akan pernah kulupakan untuk selamanya. Aku
sangat senang akan kedatangannya. Hari-hariku terisi penuh warna cemerlang
seperti pelangi penuhi langit disaat berganti cuaca. Aku sangat bahagia
mendengar dia mengucapkan,
“Pemandangan di Negri ini
sangat indah, karena ada dirimu yang selalu beri senyum manismu untuk negri
ini. Aku menyukai panorama, bangunan dan orang-orang disekitarnya”. Perkataan
itu membuatku hatiku berbunga-bunga. Malam itu, tidurku terasa sangat nyenyak.
Saat pulang setelah seharian
berkeliling menikmati panorama indahnya negeri melayu ini. Rasa lapar pun
aku rasakan. Perutku ingin juga
dimanjakan dengan hidangan yang lezat buatan emakku. Seperti biasaya aku
mengambil sepiring nasi dan ku santap di depan pintu. Saat aku sedang asyik
menyantap makanan itu. Lagi- lagi emak berkata kepadaku bahwa anak gadis itu
tidak baik makan di dekat pintu, karena nanti tidak dapat jodoh. Selalu saja
perkataan itu dilontarkan kepadaku. Aku tidak mengerti adat pantang larang
negeri melayu. Aku rasa, itu tidak ada hubungannya. Aku kembali memelas ucapan
emak.
Kembali setelah pulang
sekolah aku pergi ke kompleks candi itu, untuk bertemu pemuda itu. Namun hari
itu aku tidak bertemu dengannya. Aku kembali ke sana esok harinya, kembali
seperti kemarin, kembali pemuda itu tak tampak pucuk hidungnya lagi. Entah
mengapa, hari ini hatiku tegang menanti kedatangannya kembali. Kuingin hari itu
terulang lagi. Terulang untuk yang kedua kalinya. Tetapi, setelah berjam-jam
hingga petang, ia tidak kunjung datang. Kembali kuteringat,
“Apa karena adanya adat pantang larang itu? Sehingga ia tidak
ditakdirkan untukku! Jikalau semuanya benar, pasti aku akan menuruti semua
perkataan emak untuk membersihkan rumah, tidak makan di depan pintu dan kamarku
dengan rajin”. Aku semakin bingung dan tidak mengerti apa arti semua ini.
Hatiku bergumam, “Secepat itukah dia melupakanku?”
Hari-hari berikutnya masih saja sama. Dia juga tidak ada. Aku
menunggu dengan gelisah. Aku bertanya kepada semua nelayan, tetapi mereka tidak
mengenalinya. Aku bahkan juga tidak tahu siapa nama pemuda itu. Pemuda yang
membuat hari itu penuh angan-angan. Aku menyesal harus bertemu dan berpisah
dengan cara seperti ini. Dia bahkan tidak berpamitan dulu padaku, tidak
mengabariku, aku jadi semakin benci. Ku teringat kembali,
“Apa karena adanya adat
pantang larang itu? Sehingga ia tidak ditakdirkan untukku! Jikalau semuanya
benar, pasti aku akan menuruti semua perkataan emak untuk makan tidak didepan
pintu”.
Semenjak kejadian itu, aku menuruti perkaataan emak, karena emak
adalah orang tuaku. Aku akan mengikuti semua perkataan orangtuaku dan aku hanya
ingin emak tidak mengomel lagi setiap hari. Dengan begitu, secara otomatis aku
mematuhi adat pantang larang negeriku, melayu. Walau sebenarnya aku tidak yakin.
0 komentar:
Posting Komentar