Rabu, 08 Mei 2013

TUHAN TAHU



TUHAN TAHU
Karya : Abdul Syukur
SMAN Pintar Kuantan Singingi

Suasana siang itu begitu terik. Mentari memancarkan sinarnya dengan garang. Sebuah kota yang cukup ramai pun tak luput dari pancaran sinarnya. Orang- orang berjalan sambil berbincang bersama temannya dengan menahan teriknya Sang Mentari yang sangat menyanyat kulit mereka.
Terlihat seorang laki-laki muda sedang menikmati rokok yang sudah hampir habis. Wajah yang ditengadahkan sambil menatap sebuah gedung berlantai 3, membuatnya terlihat angkuh.
         “ Siang yang panas, orang-orang yang munafik dan ini saya, orang yang bebas “  gumamnya.
  Rama, seorang laki-laki muda yang masih dalam usia sekolah sedang bersandar disebuah dinding bangunan mewah yang menjulang tinggi. Dia berpakaian bak seorang anak muda yang sedang menikmati tren 2011 dengan jaket woll dan celana jeans yang membuatnya terlihat keren. Apalagi posisi berdiri yang hanya bertumpu pada satu kaki dan kaki satu lagi ditekuk dan disandarkan ke dinding, serta tangan yang masuk kedalam saku celananya yang sesekali memperbaiki posisis rokok yang ia hisap.
  Tiba- tiba dari tempat yang tidak jauh darinya, ada sekelompok orang yang berteriak.
“ Copeeet…Copeeettt… “ teriakan sekelompok orang tersebut.
Suara itu terdengar dari massa yang berlarian memburu seorang pria yang lari dan membawa tas kearah Rama. Tepat di depan tubuh Rama, pria itu terjatuh karena tersandung kaki Rama yang sengaja ia julurkan tetap dengan posisinya tadi. Salah seorang dari massa tersebut datang lalu memegangi pria itu.
“ Akhirnya kau tertangkap juga, dasar pencopet keparat ” bentak salah seorang  massa sambil menindih tubuh pria itu dan menarik kerah bajunya yang membuat pria itu sesak.
Massa bertambah banyak dan memukuli pria yang dituduh pencopet tadi, sehingga terjadi kejadian main hakim sendiri.
“ Mati kau pencopet sialan!” umpat salah seorang massa yang ikut memukuli pencopet itu.
Rama yang berdiri didepan mereka, berdiri lurus dan membuang puntung rokok yang dihisapnya tadi lalu diinjaknya. Kemudian ia pergi meninggalkan kerumunan massa yang masih memukuli pencopet itu.
“ Dasar orang-orang bodoh, bukan pencopet itu yang keparat,  tapi kalian. Kalian para keparat hukum yang membuat kesempatan untuk menimbulkan niat jahat para pencopet “ gumamnya sambil tersenyum mereng hingga kerumunan massa tertinggal jauh dibelakangnya.  
  Lama berjalan, Rama menuju sebuah warung kecil tempat berjualan minuman dan makanan ringan. Karena rokok disakunya sudah habis, maka hasrat untuk membeli rokok pun timbul dalam hatinya. Tanpa berpikir panjang, Rama pun membeli sebungkus rokok di warung tersebut.
“ Buk, rokok yang itu satu “ ujarnya sambil menunjuk rokok yang bermerk class mild.
“ Nih Dik rokoknya” sambil menyodorkan rokok kepada Rama
“ Berapa harganya Buk ?” Tanyanya dengan santai
“ Rp. 10.000 Dik “ jawab ibu penjaga warung tersebut
Dikeluarkannya selembar uang sepuluh ribu dari dalam dopetnya yang lusuh.
“ Nih Buk, uangnya. Terima kasih Buk “ menyodorkan uang dengan tangan kanan
“ Sama-sama Dik “ jawabnya sambil tersenyum manis
  Berbalik kearah jalanan yang cukup padat dan membelakangi warung tersebut, Rama tampak bingung hendak kemana. Dia tidak memiliki tujuan yang jelas. Untuk menghilangkan kebingungannya itu, ia mengambil sebatang rokok dari bungkusnya yang ia letakkan didalam saku jaketnya, kemudian dinyalakan rokok tadi lalu dihisapnya sambil melihat keseberang jalan. Setelah menyulut rokok itu, ia memasukkan kembali bungkus rokok tadi kedalam sakunya.
Tiba-tiba seorang pengemis yang tangannya diperban dan membawa sebuah tongkat untuk membantunya berjalan, menghampiri Rama.
“ Mas, sedekahnya Mas. Saya minta keikhlasannya. Sudah dua hari saya tidak makan dan saat ini saya sangat lapar“ ujar pengemis itu dengan nada dan muka yang memelas.
 Rama menoleh kearah pengemis itu dan menatap serius dari muka sampai kearah kaki pengemis tersebut. Ditunjukkannya wajah tanpa ekspresi dan tanpa makna.
“ Pak, bisa tidak bapak melihat anak sekolahan yang ada diseberang sana?” ujar Rama sambil menunjuk kearah jalan tepat pada para anak SMA yang baru pulang sekolah.
Pengemis itu  hanya terdiam dan menatap Rama dengan tatapan tak mengerti dengan posisi tangan menengadah kearah Rama.
“ Masih banyak pekerjaan halal dan lebih baik yang dapat Anda jalani daripada pekerjaan yang Anda jalani sekarang” ujar Rama sambil memalingkan wajah perlahan kearah pengemis.
“ Saya tahu Mas, tapi saya tidak berdaya untuk itu” jawab pengemis itu lirih.
“ Hidup saya sudah benar-benar menderita” tambah pengemis itu pasrah.
“ Pernahkah Anda berpikir bahwa didunia ini masih ada orang yang lebih menderita dari Anda sekarang? “ tanya Rama dengan santai
“ Tidak, setahu saya hanya sayalah yang paling menderita dimuka bumi ini.
“Hidup saya benar-benar jauh dari titik kebahagiaan. Kalau memang ada, siapa orang itu?” pengemis itu kembali bertanya, penuh penasaran
“ Sayalah orangnya Pak. Saya dulu seperti mereka. Pagi berangkat sekolah dengan teman-teman, pulangpun bersama. Sorenya kami bermain di Mall yang luas dan bisa membeli apa saja yang saya inginkan. Tapi sekarang? Huh !” Rama terdiam dan menunduk
“ Memang sekarang keadaan Mas seperi apa? “ Tanya pengemis itu bertambah penasaran
“ Huh, sekarang semuanya berubah 180 derajat. Saat bajingan yang ada digedung-gedung berlantai banyak itu merampas hak orang lain, yang membuat ayah saya dituduh melakukan penipuan hingga dipecat dari kerjanya” tukas Rama dengan tenang.
“ Lalu, sebenarnya siapa yang mengubah hidup Mas menjadi seperti sekarang ini dan siapa yang harus disalahkan? “ Tanya pengemis itu ingin tahu
“ Koruptor keparat yang telah mengubahnya dan harusnya dia yang disalahkan. Tapi saya salut padanya, orang yang telah membuat saya kehilangan anggota keluarga dan harta, dan juga orang-orang yang saya cintai” jawab Rama dengan tegar
  Rama kembali menghisap rokoknya dan meninggalkan pengemis itu tanpa memberi sepeser uang pun kepada pengemis itu. Setelah jarak antara Rama dan pengemis itu sudah cukup jauh, pengemis itu berteriak.
“ Mas, saya tahu mas marah pada para koruptor itu, tapi tidak semua orang yang memiliki kedudukan  bersikap seperti itu” teriak pengemis itu sehinnga membuat Rama berhenti berjalan
“ Saya doakan semoga mas bisa menjadi orang kaya yang tidak seperti itu dan mendapat keluarga yang jauh dari istilah itu” sambung pengemis itu.
  Rama tidak berbalik, dia hanya tersenyum dan menunduk dengan rokok  masih melekat dimulutnya. Rama melanjutkan langkahnya dengan kepala sedikit menunduk.
Langkah Rama terhenti ditepi jalan sambil menunduk. Perlahan ia naikkan wajahnya dan menoleh kearah kiri melihat sebuah rumah mewah tingkat dua.
“ Tempat terindah yang pernah ku huni selama 16 tahun dan mengukir  sejuta kenangan yang tak mungkin terlupakan sepanjang hayatku” gumam Rama sambil memandangi rumah mewah itu
Tak terlalu lama ia berdiri didepan rumah itu, bergegas ia tinggalkan jalanan itu sambil menyarungkan penutup kepala jaketnya pada kepalanya yang sedari tadi terasa terbakar karena teriknya panas hari itu.
Setelah lama berjalan, sampailah ia disebuah pemakaman umum. Sampai dipemakaman hanya dengan berjalan kaki, tidak terlihat rasa lelah di wajahnya. Dia melayangkan pandangannya jauh, melihat makam yang ada dibagian samping pemakaman.Rama berjalan pelan sambil terus menatap dua makam yang berdampingan, lalu ia berdiri diantara kedua makam tersebut.
“Pa, Ma, sekarang Rama sendiri. Kenapa Papa dan Mama terlalu cepat pergi meninggalkan Rama? Rama masih butuh kalian” suara Rama tertahan dan menunduk. ”Sekarang Rama menderita Pa, Ma. Rama tidak tahu apakah Tuhan tahu apa yang Rama inginkan dan butuhkan sekarang? Sekarang Rama butuh kasih sayang dan perhatian orang tua. Rama ingin keluarga yang seperti dulu” Rama terisak dan menunduk.
  Rama teringat masa-masa pahit setelah ia ditinggalkan kedua orang tuanya.
***
Masa saat menuntut ilmu disekolah favorit dikotanya itu, masa setelah ia jatuh miskin.
Rama yang  duduk di bangku taman didepan kelasnya sedang bersedih karena semua yang ia miliki telah direnggut darinya. Duduk dengan gaya kerennya, ia memandangi langit sambil menyender dibangku taman.
Saat itu teman-temanya datang menghampiri Rama. Bukannya menghibur, teman-temannya yang datang malah mencemoohnya. Mereka menjadikan Rama sebagai bahan tertawaan, tidak seperti saat Rama kaya dulu. Dua orang yang dianggap sahabatnya, sekarang malah mencaci dan menghinanya.
“ Woi Ram, seharusnya kamu sadar dong, siapa kamu sebenarnya. Kamu tidak pantas sekolah disini. Mana lagi uang buat bayar biaya sekolahmu? Mana uang donator dari Papa mu yang hasil korupsi itu? Hahaha… Ya tidak woi ? “  ujar Rio menghina dengan gaya tangan dilipat di dada.
“Hahaha…Benar tuh, orang yang berasal dari keluarga yang tidak bermoral seperti dia ini pantasnya sekolah di penjara ” cemooh Randi sambil menaikkan bahu dan menyeringai.
  Rama tidak dapat melawan, karena dia sendirian dan tidak berteman. Dia hanya diam dan memandangi wajah para munafik itu dengan tatapan pasrah. Itu semua membuatnya berhenti sekolah dan  bergaul dengan siapapun yang ada hubungannya dengan sekolah itu.
***
  Waktu berlalu begitu cepat, hingga Rama beranjak dan segera kembali ke tempat ia tinggal. Dalam perjalanan pulang dari pemakaman umum, Rama melihat seekor anak kucing berada ditengah jalan raya yang sepi. Rama mencoba mengambilnya, namun kucing itu lari keseberang jalan dan mendatangi induknya. Dengan senyum sinisnya, ia berpikir tentang kuasa tuhan yang pernah ada.
“ Aku takkan percaya sebelum aku melihat sendiri keajaiban itu didepan mataku sendiri. Tongkat yang bisa membelah lautan, orang buta yang disembuhkan hingga bisa melihat lagi tanpa operasi, bahkan orang yang bisa berbicara dengan binatang” gumam Rama dengan penuh penasaran.
Rama terdiam melihatnya. Dengan posisi berdiri ditengah jalan, ia termenung melihat anak kucing itu dimanja induknya yang terlihat sangat sayang padanya.
“ Sekarang Kau tunjukkan kuasamu yang tidak adil dalam mengatur hidupku” gumamnya lagi dengan penuh kesal.Rama menunduk dan menyesali kesempatan hidup yang ia miliki.
“ Tuhan, mengapa kau tak adil padaku? Mengapa? Mengapa engkau ambil ayah dan ibuku, kau ambil kehidupanku, kau ambil semua dariku. Tapi mengapa tak Kau renggut nyawaku saat mereka Kau panggil?” teriak Rama ditengah jalan.
  Rama yang sedang dalam masa yang sulit, meneriakkan semua yang dirasakannya sambil menengadahkan kepala kearah langit dan membuka tangannya lebar-lebar. Tiba-tiba…
“Tiiittt…”
Sebuah mobil besar melintas ditengah jalan, tepat lurus dengan arah Rama berdiri. Rama yang menyadari hal itu  menutup matanya pasrah.
“Hei, buka matamu” bentak pria pengemudi mobil itu
Perlahan Rama membuka matanya dan melihat seorang lelaki yang sedang memandanginya yang terbaring ditrotoar.
“Kau ingin mati? Apa nyawamu bisa dibeli? Apa uangmu terlalu banyak untuk menjalani hidupmu?” maki pria itu dengan geram.
Rama duduk ditrotoar.
“ Tuhan, apa Kau tunjukkan lagi kuasa-Mu untukku, agar aku bisa mati pada waktunya?” ujar Rama pelan
“Hah? Apa lagi yang kau katakan? Kau diberi kesempatan untuk memiliki kehidupan yang baik, tapi kau malah ingin mati” maki pria itu lagi sambil menunjuk-nunjuk kearah Rama dan alis yang tegang serta jidat yang berkerut.
“ Apakah ini kesempatan kedua, Tuhan?” ujar Rama pelan dengan wajah  tanpa ekspresi.  



0 komentar:

Posting Komentar