Rabu, 08 Mei 2013

Mahligai hidup


Mahligai hidup
Oleh: Nur Annisa
SMAN Pintar Kuantan Singingi

Mata pemuda itu memandang keluar jendela. Jejeran sawah yang hijau terhampar di depan mata. Pepohonan seolah melambai-lambai riang. Hawa dingin menggerakkan hatinya untuk membalutkan jaket cokelat muda yang selama ini hanya tersangkut pada lengan ranselnya.
”Boleh saya duduk di sini Dik?” tanya seorang wanita paruh baya yang sejak tadi sibuk mencari tempat duduk dan akhirnya menemukan satu bangku kosong di sebelahnya. Wanita itu membawa sekarung petai yang mungkin akan dijajakan di pasar. Ia menaksir usia wanita itu sekitar lima puluhan lebih dilihat dari cara jalannya membawa petai yang sedikit tertatih.
”Silahkan Bu.” jawabnya sembari memindahkan ransel yang tadi diletakkan di kursi itu ke dekat jendela tempat ia duduk.
”Baru pulang merantau ya Dik?”
”Tepatnya baru selesai mengabdi pada negara Bu.”
“Oh. Jadi Adik ini tentara?”
“Maksudnya, saya baru menyelesaikan kuliah S1 saya Bu.”
“Oh, begitu. Sarjana apa Dik?”
”Sarjana Pertanian. Ibu sendiri, mau dagang ke pasar ya Bu? Sendiri saja Bu?”
“Iya Dik. Saya sebenarnya punya anak laki-laki sebesar Adik juga. Tetapi, dia sekarang sedang merantau di kota Metropolitan. Katanya, dia mau merubah nasib. Apalagi di sini susah mencari pekerjaan yang sesuai dengan gelar Sarjana Teknik anak saya. Jadi, saya hanya hidup sendirian sekarang.”
”Anak Ibu sarjana juga, Bu?” tanyanya seraya tidak percaya.
Namun, ibu itu hanya menjawab dengan tersenyum dan memilih diam. Dia masih bertanya-tanya mengenai hal ini. Baginya ini adalah hal yang wah! Anak seorang pedagang kecil bisa sarjana. Di benaknya terlintas, mungkin ibu itu dahulu istri orang kaya dan sekarang ditinggal suaminya atau suaminya sudah meninggal. Tapi, ia tidak mau memikirkan lebih jauh tentang ibu itu. Ia lebih memilih memikirkan Syakira, gadis desa pujaan hatinya yang hidupnya hanya sebatas rumah dan mesjid saja. Senyum manis Syakira menari-nari di otaknya, membuat pikirannya melayang-layang ke masa-masa SMA.
***

Travel mini yang ditumpanginya ternyata sudah terparkir di depan sebuah rumah panggung dari batako yang tak asing lagi baginya.
”Rasyd...”
Seorang wanita paruh baya keluar dari rumah dan mendekati travel itu.
”Ummi. Assalammualaikum Ummi!”
Rasyd yang menghambur keluar segera menyalami dan merangkul ibunya. Kira-kira sudah empat tahunan ia tidak bertemu dengan ibunya. Tanpa sadar, dirasakan air matanya mengalir dari kedua pelupuk matanya.
***

Waktu terus berjalan, menghasilkan pergantian jam. Menghasilkan siang dan malam. Menghasilkan sejarah kehidupan dan kematian. Sejarah orang-orang yang gagal dan sejarah orang-orang yang berhasil. Sejarah orang-orang yang malang dan orang-orang yang beruntung.
Waktu terus berjalan. Setiap detik selalu ada perubahan. Ya, waktu terus berjalan tanpa henti.
Lahan pertanian seluas10 hektar peningggalan ayahnya kini telah ia sulap menjadi sebuah tempat usaha jamur merang yang cukup besar. Bisa dibilang usahanya kini cukup sukses.
Orang-orang di kampungnya banyak yang memuji kesuksesannya. Bagaimana tidak, baru sekitar satu tahun ia menerima gelar sarjana sudah bisa menghasilkan industri jamur merang yang  cukup besar bahkan kini sudah tersebar keseluruh penjuru Indonesia. Tapi, ada sesuatu yang selalu mengganjal di hatinya.
Ada satu hal yang selalu ia pikirkan setiap malam. Setiap kali bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan malam. Ia meminta agar  bisa mendapat pendamping hidupnya yang bisa ia tuntun ke surga Allah dan berharap agar ia bisa dipertemukan dengan gadis solehah yang sempat memikat hatinya.
***

Kicau burung, pohon-pohon, bebatuan, dan matahari pagi semuanya bertasbih mengagungkan ke-Esaan Allah. Begitu pula Rasyd yang turut mengagungkan indahnya ke-Esaan Allah pagi ini. Pagi ini mungkin tak seperti biasa. Ia sangat bersemangat dan lama ia bertengger di depan cermin. Hari ini, ia mengajak Ibunya untuk melamar Syakira. Entah apa yang mendorong bathinnya ingin segera melamar Syakira. Ibunya sempat berkata padanya,
”Apa kamu yakin? Jangan tergesa-gesa, Nak. Karena tergesa-gesa datangnya dari syetan.”
Namun, Rasyd tetap teguh pada pendiriannya dan ia sudah mantap dengan keputusannya. Inilah saaatnya ia melengkapi separo imannya.
Jalan menuju rumah Syakira tidak terlalu jauh dari rumahnya. Hanya berlainan desa dan dipisahkan oleh sebuah pulau. Rasyd pergi dengan perasaannya yang menggelora. Sekilas terbayang wajah anggun Syakira di benaknya. Ia semakin yakin pada hatinya bahwa ia tidak bertepuk sebelah tangan. Ia teringat puisi Jalaluddin Rumi yang pernah dibacanya.
Apabila cinta ada di hati yang satu
pasti juga cinta itu ada di hati yang lain
karena tangan yang satu
takkan bisa bertepuk
tanpa tangan yang lain.
***

Alunan bacaan ayat suci Al-Qur’an begitu indah dan merdu terdengar oleh Rasyd dan ibunya. Rumah panggung dengan pagarnya dikelilingi bonsai putih, memiliki sebuah mesjid kecil atau sebut saja mushalla di pojok kanan depan rumah itu. Bunga-bunga tertata rapi di pinggiran teras dengan jenis yang beraneka ragam.
Assalammualaikum.”
Rasyd dan ibunya berdiri di depan pagar sembari menggoncangkan gembok pagar itu hingga suaranya terdengar sampai ke dalam rumah.
Waalaikumsalam.”
Seorang pria bersorban muncul dari arah mushalla. Tak lain lagi, pria itu adalah Ustad Safar ayah wanita yang hendak dipinangnya, Syakira.
”Eh, Nak Rasyd. Bu Halimah. Mari masuk!” ajak Ustad Safar sembari membukakan pagar.
Rumah ini sangat sederhana namun, juga sangat indah dan unik. Dinding-dindingnya hampir setiap sudut terpajang tulisan kaligrafi ayat suci Al-Qur’an dan beberapa lukisan filsafat-filsafat dan tokoh-tokoh Islam. Salah satunya lukisan tokoh walisongo yang terpampang tepat di dinding depan pintu masuk. Aroma bunga melati dan aster tersebar di seluruh ruangan membuat siapa saja yang berada di dalamnya akan terasa nyaman.
”Sudah berapa lama ya Nak Rasyd tidak ada nampak. Sudah selesai kuliahnya?” tanya Ustad Safar sembari mempersilahkan keduanya menyantap teh yang telah dihidangkan.
”Saya sekarang sudah bekerja, Ustad. Oh, iya. Bagaimana kabar keluarga di sini, Ustad?”
Alhamdulillah. Nak Rasyd dan keluarga juga baik kan?” jawab Ustad Safar balik bertanya.
Alhamdulillah.” jawabnya.
”Sebenarnya, ada maksud apa datang kemari? Ada hal penting rupanya?” tanya Ustad Safar.
”Oh, begini...” jawab Bu Halimah namun terputus ketika  tiba-tiba terdengar seseorang memberi salam dari luar.
Assalammualaikum.”
Suara itu seperti tak asing bagi Rasyd dan ia merasa pernah mendengarnya.
Waalaikumsalam.” jawab mereka serentak.
”Sepertinya yang datang itu Syakira.” ucap Ustad Safar.
Seketika detak jantung Rasyd seolah dipacu untuk menghasilkan degupan yang dahsyat. Tiba-tiba saja ia merasakan kakinya lemah untuk berdiri dan butiran keringat dingin mulai mengucur membasahi tubuhnya. Entah apa yang terjadi padanya, namun ia merasa bahagia.
***

Dunia seolah diselimuti awan hitam. Petir dan kilat menyambar di mana-mana, begitu juga hatinya. Alangkah terkejutnya ia ketika seorang wanita muda terbalut jilbab biru muda itu masuk dengan membawa seorang bayi mungil di gendongannya. Takdir Tuhan untukku kah ini? Dalam hatinya bergejolak menyebut asma Allah.
”Uda... Rasyd?” ucap Syakira setengah terbata.
’Maksud hati memeluk gunung, apalah daya tangan tak sampai’ ternyata syakira kini telah menjadi muhrim orang lain.
***



0 komentar:

Posting Komentar