Mahligai hidup
Oleh: Nur Annisa
SMAN Pintar Kuantan Singingi
Mata pemuda itu memandang keluar jendela. Jejeran sawah yang hijau terhampar di
depan mata. Pepohonan seolah melambai-lambai riang. Hawa dingin menggerakkan
hatinya untuk membalutkan jaket cokelat muda yang selama ini hanya tersangkut
pada lengan ranselnya.
”Boleh saya duduk di sini
Dik?” tanya seorang wanita paruh baya yang sejak tadi sibuk mencari tempat
duduk dan akhirnya menemukan satu bangku kosong di sebelahnya. Wanita itu
membawa sekarung petai yang mungkin akan dijajakan di pasar. Ia menaksir usia
wanita itu sekitar lima puluhan lebih dilihat dari cara jalannya membawa petai
yang sedikit tertatih.
”Silahkan Bu.” jawabnya
sembari memindahkan ransel yang tadi diletakkan di kursi itu ke dekat jendela
tempat ia duduk.
”Baru pulang merantau ya
Dik?”
”Tepatnya baru selesai
mengabdi pada negara Bu.”
“Oh. Jadi Adik ini
tentara?”
“Maksudnya, saya baru
menyelesaikan kuliah S1 saya Bu.”
“Oh, begitu. Sarjana apa Dik?”
”Sarjana Pertanian. Ibu
sendiri, mau dagang ke pasar ya Bu? Sendiri saja Bu?”
“Iya Dik. Saya sebenarnya
punya anak laki-laki sebesar Adik juga. Tetapi, dia sekarang sedang merantau di
kota Metropolitan. Katanya, dia mau merubah nasib. Apalagi di sini susah
mencari pekerjaan yang sesuai dengan gelar Sarjana Teknik anak saya. Jadi, saya
hanya hidup sendirian sekarang.”
”Anak Ibu sarjana juga, Bu?”
tanyanya seraya tidak percaya.
Namun, ibu itu hanya menjawab
dengan tersenyum dan memilih diam. Dia masih bertanya-tanya mengenai hal ini.
Baginya ini adalah hal yang wah! Anak
seorang pedagang kecil bisa sarjana. Di benaknya terlintas, mungkin ibu itu
dahulu istri orang kaya dan sekarang ditinggal suaminya atau suaminya sudah
meninggal. Tapi, ia tidak mau memikirkan lebih jauh tentang ibu itu. Ia lebih
memilih memikirkan Syakira, gadis desa pujaan hatinya yang hidupnya hanya
sebatas rumah dan mesjid saja. Senyum manis Syakira menari-nari di otaknya,
membuat pikirannya melayang-layang ke masa-masa SMA.
***
Travel mini yang ditumpanginya
ternyata sudah terparkir di depan sebuah rumah panggung dari batako yang tak
asing lagi baginya.
”Rasyd...”
Seorang wanita paruh baya
keluar dari rumah dan mendekati travel itu.
”Ummi. Assalammualaikum Ummi!”
Rasyd yang menghambur keluar
segera menyalami dan merangkul ibunya. Kira-kira sudah empat tahunan ia tidak
bertemu dengan ibunya. Tanpa sadar, dirasakan air matanya mengalir dari kedua
pelupuk matanya.
***
Waktu terus berjalan,
menghasilkan pergantian jam. Menghasilkan siang dan malam. Menghasilkan sejarah
kehidupan dan kematian. Sejarah orang-orang yang gagal dan sejarah orang-orang
yang berhasil. Sejarah orang-orang yang malang dan orang-orang yang beruntung.
Waktu terus berjalan. Setiap
detik selalu ada perubahan. Ya, waktu terus berjalan tanpa henti.
Lahan pertanian seluas10
hektar peningggalan ayahnya kini telah ia sulap menjadi sebuah tempat usaha
jamur merang yang cukup besar. Bisa dibilang usahanya kini cukup sukses.
Orang-orang di kampungnya
banyak yang memuji kesuksesannya. Bagaimana tidak, baru sekitar satu tahun ia
menerima gelar sarjana sudah bisa menghasilkan industri jamur merang yang cukup besar bahkan kini sudah tersebar keseluruh
penjuru Indonesia. Tapi, ada sesuatu yang selalu mengganjal di hatinya.
Ada satu hal yang selalu ia
pikirkan setiap malam. Setiap kali bermunajat kepada Sang Pencipta siang dan
malam. Ia meminta agar bisa mendapat
pendamping hidupnya yang bisa ia tuntun ke surga Allah dan berharap agar ia
bisa dipertemukan dengan gadis solehah yang sempat memikat hatinya.
***
Kicau burung, pohon-pohon,
bebatuan, dan matahari pagi semuanya bertasbih mengagungkan ke-Esaan Allah.
Begitu pula Rasyd yang turut mengagungkan indahnya ke-Esaan Allah pagi ini.
Pagi ini mungkin tak seperti biasa. Ia sangat bersemangat dan lama ia
bertengger di depan cermin. Hari ini, ia mengajak Ibunya untuk melamar Syakira.
Entah apa yang mendorong bathinnya ingin segera melamar Syakira. Ibunya sempat
berkata padanya,
”Apa kamu yakin? Jangan
tergesa-gesa, Nak. Karena tergesa-gesa datangnya dari syetan.”
Namun, Rasyd tetap teguh pada
pendiriannya dan ia sudah mantap dengan keputusannya. Inilah saaatnya ia
melengkapi separo imannya.
Jalan menuju rumah Syakira
tidak terlalu jauh dari rumahnya. Hanya berlainan desa dan dipisahkan oleh
sebuah pulau. Rasyd pergi dengan perasaannya yang menggelora. Sekilas terbayang
wajah anggun Syakira di benaknya. Ia semakin yakin pada hatinya bahwa ia tidak
bertepuk sebelah tangan. Ia teringat puisi Jalaluddin Rumi yang pernah
dibacanya.
Apabila cinta ada di hati yang satu
pasti juga cinta itu ada di hati yang lain
karena tangan yang satu
takkan bisa bertepuk
tanpa tangan yang lain.
***
Alunan bacaan ayat suci Al-Qur’an begitu indah dan merdu
terdengar oleh Rasyd dan ibunya. Rumah panggung dengan pagarnya dikelilingi
bonsai putih, memiliki sebuah mesjid kecil atau sebut saja mushalla di pojok
kanan depan rumah itu. Bunga-bunga
tertata rapi di pinggiran teras dengan jenis yang beraneka ragam.
”Assalammualaikum.”
Rasyd dan ibunya berdiri di
depan pagar sembari menggoncangkan gembok pagar itu hingga suaranya terdengar
sampai ke dalam rumah.
”Waalaikumsalam.”
Seorang pria bersorban muncul
dari arah mushalla. Tak lain lagi, pria itu adalah Ustad Safar ayah wanita yang
hendak dipinangnya, Syakira.
”Eh, Nak Rasyd. Bu Halimah.
Mari masuk!” ajak Ustad Safar sembari membukakan pagar.
Rumah ini sangat sederhana
namun, juga sangat indah dan unik. Dinding-dindingnya hampir setiap sudut
terpajang tulisan kaligrafi ayat suci Al-Qur’an dan beberapa lukisan
filsafat-filsafat dan tokoh-tokoh Islam. Salah satunya lukisan tokoh walisongo yang terpampang tepat di dinding
depan pintu masuk. Aroma bunga melati dan aster tersebar di seluruh ruangan
membuat siapa saja yang berada di dalamnya akan terasa nyaman.
”Sudah berapa lama ya Nak
Rasyd tidak ada nampak. Sudah selesai kuliahnya?” tanya Ustad Safar sembari
mempersilahkan keduanya menyantap teh yang telah dihidangkan.
”Saya sekarang sudah bekerja,
Ustad. Oh, iya. Bagaimana kabar keluarga di sini, Ustad?”
”Alhamdulillah. Nak Rasyd dan keluarga juga baik kan?” jawab Ustad
Safar balik bertanya.
”Alhamdulillah.” jawabnya.
”Sebenarnya, ada maksud apa
datang kemari? Ada hal penting rupanya?” tanya Ustad Safar.
”Oh, begini...” jawab Bu
Halimah namun terputus ketika tiba-tiba
terdengar seseorang memberi salam dari luar.
”Assalammualaikum.”
Suara itu seperti tak asing
bagi Rasyd dan ia merasa pernah mendengarnya.
”Waalaikumsalam.” jawab mereka serentak.
”Sepertinya yang datang itu
Syakira.” ucap Ustad Safar.
Seketika detak jantung Rasyd
seolah dipacu untuk menghasilkan degupan yang dahsyat. Tiba-tiba saja ia
merasakan kakinya lemah untuk berdiri dan butiran keringat dingin mulai
mengucur membasahi tubuhnya. Entah apa yang terjadi padanya, namun ia merasa
bahagia.
***
Dunia seolah diselimuti awan hitam. Petir dan kilat menyambar di mana-mana,
begitu juga hatinya. Alangkah terkejutnya ia ketika seorang wanita muda
terbalut jilbab biru muda itu masuk dengan membawa seorang bayi mungil di
gendongannya. Takdir Tuhan untukku kah
ini? Dalam hatinya bergejolak menyebut asma Allah.
”Uda... Rasyd?” ucap Syakira
setengah terbata.
’Maksud hati memeluk gunung, apalah daya tangan tak sampai’ ternyata syakira kini telah menjadi muhrim orang lain.
***
0 komentar:
Posting Komentar