Jumat, 03 Mei 2013

CERPEN-MENGGAMBAR




MENGGAMBAR

By: Egon Sastra Saputra
07  APRIL 2013

          Ku genggam erat-erat pensil yang ada di tanganku sambil ku pandangi buku gambar yang putih dan bersih tanpa goresan sedikit pun. 30 menit sudah waktu berlalu, tapi aku masih belum tahu gambar apa yang mau ku lukis. Dan sekarang hanya tersisa waktu 60 menit, tapi buku gambarku masih putih polos….
          Aku arahkan pandanganku ke depan, ku lihat sesosok laki-laki yang duduk terdiam sambil memainkan laptopnya. Sesekali dia tersenyum, entah apa yang sedang ia lihat di laptopnya. Ya, dia tak lain adalah seorang guru. Dialah guru seni yang menyuruh kami untuk melukis, dan aku benci itu….
          Bukan gurunya yang aku benci, bukan juga pelajarannya. Malahan aku suka gurunya, karena dia baik, berwibawa, sering senyum, dan dia juga humoris. Dan aku juga suka pelajaran seni termasuk mengambar. Tapi yang sangat aku benci adalah tema menggambarnya. Kenapa tidak menggambar bebas saja? Kenapa temanya harus “menggambar orang yang dicintai”? Tak adakah tema lain?
          Ku coba memandangi teman-teman sekelilingku, raut wajah mereka terlihat begitu semangat. Mereka begitu menikmati pelajaran ini. Diam-diam kuintip lukisan mereka, semuanya menggambar tentang keluarganya. Ada yang menggambar ayahnya, ibunya, saudaranya, bahkan sampai kakek neneknya. Ada juga yang menggambar seluruh keluarganya yang sedang berpegangan tangan sambil tersenyum.
***
          Sedangkan aku masih tetap terdiam, belum tau gambar apa yang mau kubuat. Aku tak punya ibu, ayah, apalagi saudara. Aku hanya hidup sendiri, tanpa pernah merasakan kehangatan dari keluarga. Untuk menafkahi hidupku saja aku harus membanting tulang. Pulang sekolah aku harus bekerja di sebuah toko sebagai budak pengantar barang. Pekerjaan ini telah kujalani selama 2 tahun, Karena sebelumnya aku hanyalah seorang pemulung.
          Untung sekolah gratis, sehingga aku bisa mendapat pendidikan seperti anak-anak yang lain. Tapi tidak untuk biaya hidupku sehari-hari. Untuk makan, aku harus bekerja mencari nafkah sendiri. Kehidupan seperti ini ku jalani sejak umurku 5 tahun. Karena sebelumnya aku hidup bersama seorang janda tua yang sudah kuanggap sebagai nenekku sendiri.  Dan dialah yang sudah merawatku sejak kecil.
          Nenek hanyalah seorang pemulung, dan dialah yang menemukan seorang bayi mungil di tempat sampah saat dia sedang menjalani pekerjaannya. Karena merasa kasihan, nenek merawat dan membesarkan bayi itu. Tapi sayangnya, nenek meninggal saat bayi yang di besarkannya sudah berumur 5 tahun. Dan sejak itulah aku harus hidup sendirian. Sekarang aku tak ingat lagi seperti apa wajah nenek, karena nenek pergi saat aku masih kecil.
          Satu-satunya yang ditinggalkan nenek hanyalah sebuah pondok kecil yang sudah tua dan reyot. Di situlah aku tinggal, dengan di temani seekor anjing yang sudah kurawat selama setahun lebih. Aku menemukan anjing itu di jalan saat aku pulang sekolah. Dan aku membawanya kegubuk, lalu kurawat dan kubesarkan sampai saat ini. Walau hanya seekor anjing, tapi aku menyayanginya.
          Aku begitu iri terhadap teman-temanku. Mereka beruntung karena selalu bisa merasakan kehangatan keluarga. Mereka tak harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Disaat mereka kesulitan, mereka punya tempat untuk bernaung. Sedangkan aku…..
          Aku sangat membenci orang tuaku walau aku tak kenal siapa mereka. Dalam hatiku selalu berdoa, semoga tuhan melaknat laki-laki dan perempuan yang telah membuangku. Apa salahku sehingga aku harus dibuang? Apa aku tak pernah diharapkan lahir di dunia ini??
          Namun tak bisa kupungkiri, aku sangat kesepian. Aku merindukan belaian orang tua, aku ingin ada yang menemaniku. Aku tak tahan bila harus tetap tinggal di gubuk tua ini sendirian. Namun aku sadar, itu semua mustahil. Tak mungkin itu dapat terwujudkan…
          ***
          Kulihat sekali lagi jam dinding yang ada di depanku, dan waktu tersisa 10 menit lagi. Tanpa pikir panjang, segera ku mainkan pensilku di atas kertas putih itu. Secepat mungkin pensil itu ku gerakkan karena waktu tinggal sedikit lagi. Aku baru ingat wajah yang sangat aku sayang, dan wajah itulah yang akan kulukis.
          “Waktunya habis, sekarang cepat kumpulkan” ucap Pak Guru dengan nada cukup keras. Untungnya gambar yang ku lukis sudah selesai. Aku dan teman-teman segera berbondong-bondong mengumpulkan lukisan yang kami buat.  Dalam waktu sebentar saja, semua lukisan sudah bertumpukan dan berserakan  di atas meja pak guru.
          “Gambarnya bagus-bagus juga” ujar pak Guru yang melihat-lihat beberapa gambar yang berada di atas mejanya sambil merapikan gambar tersebut. Dia tak tahu, gambar apa yang aku buat, dia dia pasti belum melihatnya. Tapi aku tak takut jika dia melihat gambar itu, karena anjingku adalah satu-satunya yang aku punya dan yang aku sayang. Jadi tak masalah jika anjingku yang kulukis.

0 komentar:

Posting Komentar