MENGGAMBAR
By:
Egon Sastra Saputra
07 APRIL 2013
Ku genggam erat-erat pensil yang ada di tanganku sambil ku
pandangi buku gambar yang putih dan bersih tanpa goresan sedikit pun. 30 menit
sudah waktu berlalu, tapi aku masih belum tahu gambar apa yang mau ku lukis.
Dan sekarang hanya tersisa waktu 60 menit, tapi buku gambarku masih putih polos….
Aku arahkan pandanganku ke depan, ku lihat sesosok
laki-laki yang duduk terdiam sambil memainkan laptopnya. Sesekali dia
tersenyum, entah apa yang sedang ia lihat di laptopnya. Ya, dia tak lain adalah
seorang guru. Dialah guru seni yang menyuruh kami untuk melukis, dan aku benci
itu….
Bukan gurunya yang aku benci, bukan juga pelajarannya. Malahan
aku suka gurunya, karena dia baik, berwibawa, sering senyum, dan dia juga
humoris. Dan aku juga suka pelajaran seni termasuk mengambar. Tapi yang sangat
aku benci adalah tema menggambarnya. Kenapa tidak menggambar bebas saja? Kenapa
temanya harus “menggambar orang yang dicintai”? Tak adakah tema lain?
Ku coba memandangi teman-teman sekelilingku, raut wajah
mereka terlihat begitu semangat. Mereka begitu menikmati pelajaran ini.
Diam-diam kuintip lukisan mereka, semuanya menggambar tentang keluarganya. Ada
yang menggambar ayahnya, ibunya, saudaranya, bahkan sampai kakek neneknya. Ada
juga yang menggambar seluruh keluarganya yang sedang berpegangan tangan sambil
tersenyum.
***
Sedangkan aku masih tetap terdiam, belum tau gambar apa
yang mau kubuat. Aku tak punya ibu, ayah, apalagi saudara. Aku hanya hidup
sendiri, tanpa pernah merasakan kehangatan dari keluarga. Untuk menafkahi
hidupku saja aku harus membanting tulang. Pulang sekolah aku harus bekerja di
sebuah toko sebagai budak pengantar barang. Pekerjaan ini telah kujalani selama
2 tahun, Karena sebelumnya aku hanyalah seorang pemulung.
Untung sekolah gratis, sehingga aku bisa mendapat
pendidikan seperti anak-anak yang lain. Tapi tidak untuk biaya hidupku
sehari-hari. Untuk makan, aku harus bekerja mencari nafkah sendiri. Kehidupan
seperti ini ku jalani sejak umurku 5 tahun. Karena sebelumnya aku hidup bersama
seorang janda tua yang sudah kuanggap sebagai nenekku sendiri. Dan dialah yang sudah merawatku sejak kecil.
Nenek hanyalah seorang pemulung, dan dialah yang menemukan
seorang bayi mungil di tempat sampah saat dia sedang menjalani pekerjaannya.
Karena merasa kasihan, nenek merawat dan membesarkan bayi itu. Tapi sayangnya,
nenek meninggal saat bayi yang di besarkannya sudah berumur 5 tahun. Dan sejak
itulah aku harus hidup sendirian. Sekarang aku tak ingat lagi seperti apa wajah
nenek, karena nenek pergi saat aku masih kecil.
Satu-satunya yang ditinggalkan nenek hanyalah sebuah pondok
kecil yang sudah tua dan reyot. Di situlah aku tinggal, dengan di temani seekor
anjing yang sudah kurawat selama setahun lebih. Aku menemukan anjing itu di
jalan saat aku pulang sekolah. Dan aku membawanya kegubuk, lalu kurawat dan
kubesarkan sampai saat ini. Walau hanya seekor anjing, tapi aku menyayanginya.
Aku begitu iri terhadap teman-temanku. Mereka beruntung
karena selalu bisa merasakan kehangatan keluarga. Mereka tak harus membanting
tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Disaat mereka kesulitan, mereka
punya tempat untuk bernaung. Sedangkan aku…..
Aku sangat membenci orang tuaku walau aku tak kenal siapa
mereka. Dalam hatiku selalu berdoa, semoga tuhan melaknat laki-laki dan
perempuan yang telah membuangku. Apa salahku sehingga aku harus dibuang? Apa
aku tak pernah diharapkan lahir di dunia ini??
Namun tak bisa kupungkiri, aku sangat kesepian. Aku
merindukan belaian orang tua, aku ingin ada yang menemaniku. Aku tak tahan bila
harus tetap tinggal di gubuk tua ini sendirian. Namun aku sadar, itu semua
mustahil. Tak mungkin itu dapat terwujudkan…
***
Kulihat sekali lagi jam dinding yang ada di depanku, dan
waktu tersisa 10 menit lagi. Tanpa pikir panjang, segera ku mainkan pensilku di
atas kertas putih itu. Secepat mungkin pensil itu ku gerakkan karena waktu
tinggal sedikit lagi. Aku baru ingat wajah yang sangat aku sayang, dan wajah
itulah yang akan kulukis.
“Waktunya habis, sekarang cepat kumpulkan” ucap Pak Guru
dengan nada cukup keras. Untungnya gambar yang ku lukis sudah selesai. Aku dan
teman-teman segera berbondong-bondong mengumpulkan lukisan yang kami buat. Dalam waktu sebentar saja, semua lukisan
sudah bertumpukan dan berserakan di atas
meja pak guru.
“Gambarnya bagus-bagus juga” ujar pak Guru yang
melihat-lihat beberapa gambar yang berada di atas mejanya sambil merapikan
gambar tersebut. Dia tak tahu, gambar apa yang aku buat, dia dia pasti belum
melihatnya. Tapi aku tak takut jika dia melihat gambar itu, karena anjingku
adalah satu-satunya yang aku punya dan yang aku sayang. Jadi tak masalah jika
anjingku yang kulukis.
0 komentar:
Posting Komentar