Rabu, 08 Mei 2013

Bus Malam


Bus Malam
Oleh : Aslihli Zuriati
SMAN Pintar Kab. Kuantan Singingi

            Angin malam menerpa wajahku. Dingin, itulah yang kurasakan. Bus yang kutumpangi melaju meninggalkan terminal. Aku duduk dekat jendela memandang bayangan malam yang perlahan berlari kian cepat. Suasana malam begitu menyeramkan. Hari ini pertama kalinya aku pulang kampung sendirian tanpa di temani oleh seorang pun. Mama, kakak, dan adikku sudah pulang terlebih dahulu. Aku menyusul belakangan  dikarenakan aku lebih mementingkan tugas kelompok yang diberikan sekolah untuk liburan Ramadhan tahun ini. Aku meyakinkan kepada mama bahwa aku bisa pulang sendiri.
Rasa takut merasuk ke dalam pikiranku. “Apakah aku akan baik-baik saja? Selamatkah aku sampai tujuan?” Pertanyaan-pertanyaan itu selalu hadir dalam benakku. Tapi kucoba tenangkan diriku dengan kata-kata yang dapat meghilangkan rasa takut.
”Aku sudah kelas tiga SMU, harus mandiri dan tak lagi bergantung pada orang tua.” Kata-kata itu selalu kutekankan pada benakku. Kemudian kucoba membaca ayat-ayat suci Al-Quran yang ku ingat. Perlahan rasa takut tersebut menghilang.
Dikejauhan sayup-sayup masih terdengar gema takbiran. Perlahan suara itu menghilang seiring ditukar dengan deru angin malam. Tak ada lagi anak-anak yang berjalan membawa obor mengelilingi desa, tak ada lagi cahaya, yang ada hanyalah pepohonan yang bergoyang diterpa angin. Malam begitu sunyi.
Bus yang kutumpangi begitu sesak. Penuh dengan penumpang-penumpang yang tujuannya sama denganku, Sumatara Barat. Mereka pulang merantau dari Riau ke Sumatra Barat. Kebanyakan penumpang tersebut adalah ibu-ibu dan bapak-bapak yang pulang berdagang mencari rezeki di rantau orang. Sebagian dari mereka ada yang sudah tertidur. Tak kuasa menahan rasa lelah membuat mereka tertidur dengan pulas meskipun tak ada selimut, bantal, dan guling yang dapat menghangatkan tubuh mereka.
Bus ini sudah terlalu tua. Itu terlihat dari bagian-bagian bus yang sudah dipenuhi oleh karat dimana-mana, kursi yang warnaya sudah tak lagi cerah dan nama bus yang terpampang di kaca depan tak lagi utuh. Tapi bus ini tetap melakukan tugasnya dengan setia, mengangkut penumpang.
Perjalanan malam yang panjang sudah dimulai. Aktifitas yang kulakukan di atas bus sudah kuhentikan, yaitu SMS-an dengan teman-temanku yang di Pekanbaru sekedar mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri dan tidak lupa sambil megaitkan headset di telinga mendengarkan musik kesukaanku. Kini mataku sudah lelah, kulihat jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan jam sebelas malam, lebih baik aku tidur, mudah-mudahan aku bemimpi indah. Akan tetapi itu takkan mungkin. Bagaimana mungkin aku bisa tidur dan bermimpi indah dengan perasaan yang was-was dan takut ini. Tapi lama kelaman aku tertidur dan kemudian terbangun kembali karena dinginnya malam begitu menusuk ke dalam tulangku. Kejadian tersebut terus berulang-ulang.
Tiba-tiba aku terbangun. Rupanya bus yang kutumpanngi  tak lagi melaju. Dari belakang terdengar suara penumpang lain mulai ribut.
“Ada apa gerangan?” Pertanyaan mulai merasuk dalam pikiranku. Ingin aku bertanya pada ibu-ibu yang duduk di sebelahku. Kuurungkan niatku, ibu-ibu yang duduk disebelahku ternyata masih tertidur dengan pulasnya. Aku coba untuk bertanya pada penumpang yang duduk di belakangku. Ternyata seorang lelaki tua yang memiliki kumis, dan janggut yang begitu lebat, serta rambutnya yang ikal tak beraturan. Seram, itu yang kulihat dari wajah lelaki tua itu. Tapi apa mau dikata aku sudah terlanjur melihat kebelakang dan lelaki tua itu pun melihatku, mata kami saling  bertatapan. Aku susun keberanianku untuk bertanya.
“Ada apa, Pak? kenapa busnya berhenti?” tanyaku dengan wajah yang dipaksakan untuk tersenyum.
“Bannya bocor,” jawab lelaki tua itu dingin.
“Pak, sekarang posisi kita di mana?” tanyaku lagi agak takut.
“Saya kurang tahu,” jawab bapak itu singkat.
Mendengar jawaban dari lelaki tua tersebut begitu dingin membuatku tak berani untuk bertanya kembali. Pertanyaan itu kusimpan tanpa bertanya lagi kepada penumpang lain. Sembari menunggu, ku hidupkan kembali musik di handphoneku, tetapi aku tetap penasaran di mana bus ini terhenti.  Dengan pertanyaan yang masih belum juga terjawab, sesekali aku menguap, mataku masih mengantuk. Ku arahkan pandanganku ke luar jendela, terlihat pohon-pohon yang bergoyang dan melambai-lambai tertiup angin. Pikiranku mulai melayang,  pohon tersebut telihat olehku seperti melambai dan memanggilku agar datang untuk mendekatinya. Bulu kudukku merinding, ku alihkan pandanganku dengan cepat kedalam bus dan cepat kubaca ayat suci Al-quran untuk mengusir rasa takut tersebut. Tak berapa lama kemudian mesin bus hidup, bannya sudah diganti dengan ban serep dan bus dapat melaju seperti semula.
Kini kurasakan bus melaju begitu cepat. Sesekali terdengar suara derik mesin bus yang sudah tua ini. Aku takut, apakah mungkin bus ini akan sampai ke tujuan dengan keadaan utuh.
“Bruakk..,” Tiba-tiba terdengar bunyi hantaman yang sangat keras. Bus seperti menabrak sesuatu. Aku terdorong kedepan. Kekhawatiran ku bertambah. “Ada apa lagi ini?” tanyaku dalam hati. Kucoba melihat sekeliling. Semua penumpang tertidur, tak ada yang terbangun.
“Ibu yang di sebelahku mana?” Kini aku baru menyadarinya ternyata Ibu yang duduk di sebelahku tak ada lagi. “Sejak kapan Ibu itu turun? Di mana Ibu itu turun? Ada apa dengan busnya? Suara apa tadi yang terdengar olehku?” Serentet pertanyaan merasuk ke dalam pikiranku, tapi tak satu pun yang bisa kujawab.
Aneh, itulah yang kurasakan sekarang di dalam bus ini. Kupalingkan kepalaku kebelakang untuk bertanya pada lelaki tua yang duduk di belakangku. Aku kaget. Lelaki tua itu juga tak ada, yang terlihat hanyalah seorang perempuan yang masih tertidur pulas di dekat kursi lelaki tua yang sudah tak ada itu. “Ada apa ini?” Kulihat lagi sekeliling dengan seksama. Penumpang tinggal sedikit banyak kursi yang kosong. Perasaanku kian tak menentu, galau itu yang kurasakan. Wajahku mulai pucat.
“Ada apa, Dik?” tanya perempuan yang duduk dibelakang tribun kiriku,  yang sedari tadi tertidur kini sudah terbangun, dan menyadari kegelisahanku. Kupalingkan wajahku kepada perempuan itu.
“Penumpang lainnya pada kemana?” tanyaku penasaran.
“Penumpang yang mana?” tanya perempuan itu kembali.
“Ibu yang duduk di sebelah saya dan Bapak yang duduk di sebelah Uni,” jawabku meyakinkan.
“Sejak tadi tidak ada yang duduk di sini dan di dekat adik,” jawabnya heran.
Keningku berkerut. Aku yakin bapak dan Ibu itu ada, sama-sama penumpang di dalam bus ini. Bahkan aku sempat ngobrol sekedar bertanya kepada lelaki tua itu. Kemudian kulayangkan pandanganku sekeliling isi bus ini. Kulihat ada yang janggal, penumpang bertambah sedikit. Kemana penumpang yang  begitu banyak dan penuh sesak itu? Apakah mereka sudah turun? Itu tak mungkin. Daerah ini hanya dikelilingi oleh bukit-bukit dan pepohonan yang besar. Tak ada satu pun rumah penduduk yang tampak. Kucoba memberikan pertanyaan lain kepada perempuan itu.
“Tadi saya mendengar suara hantaman yang keras, apakah Uni merasakan dan  mendengarkannya juga? Tanyaku beruntut padanya.
“Suara? Suara apa?” tanya perempuan itu kembali.
“Bus ini seperti menabrak sesuatu dan menimbulkan suara yang begitu keras,” jawabku menjelaskan.
“Saya tak mendengar dan merasakan apa-apa,” jawabnya singkat.
Kemudian aku mencoba melihat kaca didepan supir. Tidak ada yang tertabarak kemudian ku palingkan wajahku kearah perempuan tadi dan bertanya lagi.
“Benarkah Uni tidak mende..,” kerongkonganku tercekat. Aku tak sanggup melanjutkan pertanyaanku. Wajah perempuan tadi berubah pucat, penuh luka yang berdarah dan menakutkan. Dia tersenyum miris padaku, membuat seluruh bulu kudukku berdiri.
“Aaa…” jeritku memecah kesunyian. Aku berdiri sambil menjerit ketakutan..
“Ada apa, Dik?” tanya seorang lelaki yang duduk tepat didepanku. Ia menolehkan kepalanya kebelakang.
Itu, ada orang yang tubuhnya penuh luka-luka, menakutkan” jawabku ketakutan dengan kedua tangan menutupi wajahku.
“Di mana?” tanya  lelaki  itu heran.
“Di sana,” jawabku menunjuk tempat perempuan tersebut, mataku masih terpejam.
“Tidak ada yang luka-luka,” jawab lelaki, “walupun ada, itu wajarkan? Tidak ada yang aneh kok. Tak usah takut, ” tambahnya lagi sambil tersenyum geli melihat tingkahku yang aneh.
Kuberanikan untuk melihat kebelakang. Kubuka mataku perlahan. Benar apa yang dikatakan oleh laki-laki tersebut, tak ada sedikit pun luka-luka di wajah perempuan tersebut. Perempuan itu hanya heran melihatku. Aku tertunduk malu. Kemudian aku minta maaf kepada perempuan tersebut.
“Maaf,” kataku dengan wajah malu.
“Tidak apa-apa,” jawab perempuan itu singkat.
Kemudian aku duduk kembali. Kuraih HPku. Kulihat jam menunjukkan angka 12 tepat. Aku duduk dengan beberapa pertanyaan masih bergelayut dipikiranku, pertanyaan itu belum juga terjawab. Dimanakah penumpang-penumpang itu? Suara apakah itu?
“Sudahlah aku tak harus memikirkannya,” kataku dalam hati. Tiba-tiba bus melaju sangat kencang bagaikan kilat, anginnya begitu kuat menerpa wajahku. Aku kaget, ada apa lagi dengan bus ini? Sekelebat bayangan hitam berlalu cepat di samping jendela bus yang kutumpangi. Apa itu? Aku penasaran kemudian kupandangi jendela sekali lagi.
Tiba-tiba “trakk” kaca jendela berbunyi keras, seakan ada yang melemparnya dengan batu. Aku kaget dan tersurut ke kursi penumpang di sebelahku. Kurasakan punggungku tertumpu oleh seseorang dibelakangku. Siapa itu? Kemudian ku membalikkan badan. Aku terperanjat ternyata lelaki tua itu duduk di sebelahku diam membisu. Seluruh tubuhku dingin membeku. Darimana lelaki tua itu? Aku ketakutan setengah mati. Kemudian lelaki itu memandang kearahku. Kulihat wajahnya penuh dengan luka dan darah, begitu seram dan menakutkan. Lelaki tua itu menyeringai kepadaku. Tampak giginya yang runcing seperti taring drakula yang siap menerkamku. Bus apa ini? Kenapa begitu menyeramkan? Kupalingkan wajahku ke penumpang lainnya. Sama halnya dengan lelaki tua itu, mereka mempunyai luka-luka di tubuhnya dan berdarah.
“Tidakk, toloooong……” jeritku sekuat tenaga. Kututupi telinga dan mataku. Aku tak bisa bernapas, bus malam menhempaskanku, gelap… Kemudian kurasakan ada seseorang yang mengguncangkan tubuhku.
“Dik, bangun,” Terdengar suara ibu-ibu di sebelahku. Aku tersentak kaget. Keringat dingin mengalir di seluruh tubuhku. “Astaghfirullah…” ucapku sambil mengusap muka. Kulihat berpasang mata penumpang menatap heran padaku. Malu, itu yang kurasakan saat ini. Ah, aku pasti bermimpi buruk.
*****
Oleh : Aslihli Zuriati
SMAN Pintar Kab. Kuantan Singingi

            Angin malam menerpa wajahku. Dingin, itulah yang kurasakan. Bus yang kutumpangi melaju meninggalkan terminal. Aku duduk dekat jendela memandang bayangan malam yang perlahan berlari kian cepat. Suasana malam begitu menyeramkan. Hari ini pertama kalinya aku pulang kampung sendirian tanpa di temani oleh seorang pun. Mama, kakak, dan adikku sudah pulang terlebih dahulu. Aku menyusul belakangan  dikarenakan aku lebih mementingkan tugas kelompok yang diberikan sekolah untuk liburan Ramadhan tahun ini. Aku meyakinkan kepada mama bahwa aku bisa pulang sendiri.
Rasa takut merasuk ke dalam pikiranku. “Apakah aku akan baik-baik saja? Selamatkah aku sampai tujuan?” Pertanyaan-pertanyaan itu selalu hadir dalam benakku. Tapi kucoba tenangkan diriku dengan kata-kata yang dapat meghilangkan rasa takut.
”Aku sudah kelas tiga SMU, harus mandiri dan tak lagi bergantung pada orang tua.” Kata-kata itu selalu kutekankan pada benakku. Kemudian kucoba membaca ayat-ayat suci Al-Quran yang ku ingat. Perlahan rasa takut tersebut menghilang.
Dikejauhan sayup-sayup masih terdengar gema takbiran. Perlahan suara itu menghilang seiring ditukar dengan deru angin malam. Tak ada lagi anak-anak yang berjalan membawa obor mengelilingi desa, tak ada lagi cahaya, yang ada hanyalah pepohonan yang bergoyang diterpa angin. Malam begitu sunyi.
Bus yang kutumpangi begitu sesak. Penuh dengan penumpang-penumpang yang tujuannya sama denganku, Sumatara Barat. Mereka pulang merantau dari Riau ke Sumatra Barat. Kebanyakan penumpang tersebut adalah ibu-ibu dan bapak-bapak yang pulang berdagang mencari rezeki di rantau orang. Sebagian dari mereka ada yang sudah tertidur. Tak kuasa menahan rasa lelah membuat mereka tertidur dengan pulas meskipun tak ada selimut, bantal, dan guling yang dapat menghangatkan tubuh mereka.
Bus ini sudah terlalu tua. Itu terlihat dari bagian-bagian bus yang sudah dipenuhi oleh karat dimana-mana, kursi yang warnaya sudah tak lagi cerah dan nama bus yang terpampang di kaca depan tak lagi utuh. Tapi bus ini tetap melakukan tugasnya dengan setia, mengangkut penumpang.
Perjalanan malam yang panjang sudah dimulai. Aktifitas yang kulakukan di atas bus sudah kuhentikan, yaitu SMS-an dengan teman-temanku yang di Pekanbaru sekedar mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri dan tidak lupa sambil megaitkan headset di telinga mendengarkan musik kesukaanku. Kini mataku sudah lelah, kulihat jam di pergelangan tanganku sudah menunjukkan jam sebelas malam, lebih baik aku tidur, mudah-mudahan aku bemimpi indah. Akan tetapi itu takkan mungkin. Bagaimana mungkin aku bisa tidur dan bermimpi indah dengan perasaan yang was-was dan takut ini. Tapi lama kelaman aku tertidur dan kemudian terbangun kembali karena dinginnya malam begitu menusuk ke dalam tulangku. Kejadian tersebut terus berulang-ulang.
Tiba-tiba aku terbangun. Rupanya bus yang kutumpanngi  tak lagi melaju. Dari belakang terdengar suara penumpang lain mulai ribut.
“Ada apa gerangan?” Pertanyaan mulai merasuk dalam pikiranku. Ingin aku bertanya pada ibu-ibu yang duduk di sebelahku. Kuurungkan niatku, ibu-ibu yang duduk disebelahku ternyata masih tertidur dengan pulasnya. Aku coba untuk bertanya pada penumpang yang duduk di belakangku. Ternyata seorang lelaki tua yang memiliki kumis, dan janggut yang begitu lebat, serta rambutnya yang ikal tak beraturan. Seram, itu yang kulihat dari wajah lelaki tua itu. Tapi apa mau dikata aku sudah terlanjur melihat kebelakang dan lelaki tua itu pun melihatku, mata kami saling  bertatapan. Aku susun keberanianku untuk bertanya.
“Ada apa, Pak? kenapa busnya berhenti?” tanyaku dengan wajah yang dipaksakan untuk tersenyum.
“Bannya bocor,” jawab lelaki tua itu dingin.
“Pak, sekarang posisi kita di mana?” tanyaku lagi agak takut.
“Saya kurang tahu,” jawab bapak itu singkat.
Mendengar jawaban dari lelaki tua tersebut begitu dingin membuatku tak berani untuk bertanya kembali. Pertanyaan itu kusimpan tanpa bertanya lagi kepada penumpang lain. Sembari menunggu, ku hidupkan kembali musik di handphoneku, tetapi aku tetap penasaran di mana bus ini terhenti.  Dengan pertanyaan yang masih belum juga terjawab, sesekali aku menguap, mataku masih mengantuk. Ku arahkan pandanganku ke luar jendela, terlihat pohon-pohon yang bergoyang dan melambai-lambai tertiup angin. Pikiranku mulai melayang,  pohon tersebut telihat olehku seperti melambai dan memanggilku agar datang untuk mendekatinya. Bulu kudukku merinding, ku alihkan pandanganku dengan cepat kedalam bus dan cepat kubaca ayat suci Al-quran untuk mengusir rasa takut tersebut. Tak berapa lama kemudian mesin bus hidup, bannya sudah diganti dengan ban serep dan bus dapat melaju seperti semula.
Kini kurasakan bus melaju begitu cepat. Sesekali terdengar suara derik mesin bus yang sudah tua ini. Aku takut, apakah mungkin bus ini akan sampai ke tujuan dengan keadaan utuh.
“Bruakk..,” Tiba-tiba terdengar bunyi hantaman yang sangat keras. Bus seperti menabrak sesuatu. Aku terdorong kedepan. Kekhawatiran ku bertambah. “Ada apa lagi ini?” tanyaku dalam hati. Kucoba melihat sekeliling. Semua penumpang tertidur, tak ada yang terbangun.
“Ibu yang di sebelahku mana?” Kini aku baru menyadarinya ternyata Ibu yang duduk di sebelahku tak ada lagi. “Sejak kapan Ibu itu turun? Di mana Ibu itu turun? Ada apa dengan busnya? Suara apa tadi yang terdengar olehku?” Serentet pertanyaan merasuk ke dalam pikiranku, tapi tak satu pun yang bisa kujawab.
Aneh, itulah yang kurasakan sekarang di dalam bus ini. Kupalingkan kepalaku kebelakang untuk bertanya pada lelaki tua yang duduk di belakangku. Aku kaget. Lelaki tua itu juga tak ada, yang terlihat hanyalah seorang perempuan yang masih tertidur pulas di dekat kursi lelaki tua yang sudah tak ada itu. “Ada apa ini?” Kulihat lagi sekeliling dengan seksama. Penumpang tinggal sedikit banyak kursi yang kosong. Perasaanku kian tak menentu, galau itu yang kurasakan. Wajahku mulai pucat.
“Ada apa, Dik?” tanya perempuan yang duduk dibelakang tribun kiriku,  yang sedari tadi tertidur kini sudah terbangun, dan menyadari kegelisahanku. Kupalingkan wajahku kepada perempuan itu.
“Penumpang lainnya pada kemana?” tanyaku penasaran.
“Penumpang yang mana?” tanya perempuan itu kembali.
“Ibu yang duduk di sebelah saya dan Bapak yang duduk di sebelah Uni,” jawabku meyakinkan.
“Sejak tadi tidak ada yang duduk di sini dan di dekat adik,” jawabnya heran.
Keningku berkerut. Aku yakin bapak dan Ibu itu ada, sama-sama penumpang di dalam bus ini. Bahkan aku sempat ngobrol sekedar bertanya kepada lelaki tua itu. Kemudian kulayangkan pandanganku sekeliling isi bus ini. Kulihat ada yang janggal, penumpang bertambah sedikit. Kemana penumpang yang  begitu banyak dan penuh sesak itu? Apakah mereka sudah turun? Itu tak mungkin. Daerah ini hanya dikelilingi oleh bukit-bukit dan pepohonan yang besar. Tak ada satu pun rumah penduduk yang tampak. Kucoba memberikan pertanyaan lain kepada perempuan itu.
“Tadi saya mendengar suara hantaman yang keras, apakah Uni merasakan dan  mendengarkannya juga? Tanyaku beruntut padanya.
“Suara? Suara apa?” tanya perempuan itu kembali.
“Bus ini seperti menabrak sesuatu dan menimbulkan suara yang begitu keras,” jawabku menjelaskan.
“Saya tak mendengar dan merasakan apa-apa,” jawabnya singkat.
Kemudian aku mencoba melihat kaca didepan supir. Tidak ada yang tertabarak kemudian ku palingkan wajahku kearah perempuan tadi dan bertanya lagi.
“Benarkah Uni tidak mende..,” kerongkonganku tercekat. Aku tak sanggup melanjutkan pertanyaanku. Wajah perempuan tadi berubah pucat, penuh luka yang berdarah dan menakutkan. Dia tersenyum miris padaku, membuat seluruh bulu kudukku berdiri.
“Aaa…” jeritku memecah kesunyian. Aku berdiri sambil menjerit ketakutan..
“Ada apa, Dik?” tanya seorang lelaki yang duduk tepat didepanku. Ia menolehkan kepalanya kebelakang.
Itu, ada orang yang tubuhnya penuh luka-luka, menakutkan” jawabku ketakutan dengan kedua tangan menutupi wajahku.
“Di mana?” tanya  lelaki  itu heran.
“Di sana,” jawabku menunjuk tempat perempuan tersebut, mataku masih terpejam.
“Tidak ada yang luka-luka,” jawab lelaki, “walupun ada, itu wajarkan? Tidak ada yang aneh kok. Tak usah takut, ” tambahnya lagi sambil tersenyum geli melihat tingkahku yang aneh.
Kuberanikan untuk melihat kebelakang. Kubuka mataku perlahan. Benar apa yang dikatakan oleh laki-laki tersebut, tak ada sedikit pun luka-luka di wajah perempuan tersebut. Perempuan itu hanya heran melihatku. Aku tertunduk malu. Kemudian aku minta maaf kepada perempuan tersebut.
“Maaf,” kataku dengan wajah malu.
“Tidak apa-apa,” jawab perempuan itu singkat.
Kemudian aku duduk kembali. Kuraih HPku. Kulihat jam menunjukkan angka 12 tepat. Aku duduk dengan beberapa pertanyaan masih bergelayut dipikiranku, pertanyaan itu belum juga terjawab. Dimanakah penumpang-penumpang itu? Suara apakah itu?
“Sudahlah aku tak harus memikirkannya,” kataku dalam hati. Tiba-tiba bus melaju sangat kencang bagaikan kilat, anginnya begitu kuat menerpa wajahku. Aku kaget, ada apa lagi dengan bus ini? Sekelebat bayangan hitam berlalu cepat di samping jendela bus yang kutumpangi. Apa itu? Aku penasaran kemudian kupandangi jendela sekali lagi.
Tiba-tiba “trakk” kaca jendela berbunyi keras, seakan ada yang melemparnya dengan batu. Aku kaget dan tersurut ke kursi penumpang di sebelahku. Kurasakan punggungku tertumpu oleh seseorang dibelakangku. Siapa itu? Kemudian ku membalikkan badan. Aku terperanjat ternyata lelaki tua itu duduk di sebelahku diam membisu. Seluruh tubuhku dingin membeku. Darimana lelaki tua itu? Aku ketakutan setengah mati. Kemudian lelaki itu memandang kearahku. Kulihat wajahnya penuh dengan luka dan darah, begitu seram dan menakutkan. Lelaki tua itu menyeringai kepadaku. Tampak giginya yang runcing seperti taring drakula yang siap menerkamku. Bus apa ini? Kenapa begitu menyeramkan? Kupalingkan wajahku ke penumpang lainnya. Sama halnya dengan lelaki tua itu, mereka mempunyai luka-luka di tubuhnya dan berdarah.
“Tidakk, toloooong……” jeritku sekuat tenaga. Kututupi telinga dan mataku. Aku tak bisa bernapas, bus malam menhempaskanku, gelap… Kemudian kurasakan ada seseorang yang mengguncangkan tubuhku.
“Dik, bangun,” Terdengar suara ibu-ibu di sebelahku. Aku tersentak kaget. Keringat dingin mengalir di seluruh tubuhku. “Astaghfirullah…” ucapku sambil mengusap muka. Kulihat berpasang mata penumpang menatap heran padaku. Malu, itu yang kurasakan saat ini. Ah, aku pasti bermimpi buruk.
*****

0 komentar:

Posting Komentar