Bus Malam
Oleh
: Aslihli Zuriati
SMAN
Pintar Kab. Kuantan Singingi
Angin malam menerpa wajahku. Dingin,
itulah yang kurasakan. Bus yang kutumpangi melaju meninggalkan terminal. Aku
duduk dekat jendela memandang bayangan malam yang perlahan berlari kian cepat. Suasana
malam begitu menyeramkan. Hari ini pertama kalinya aku pulang kampung sendirian
tanpa di temani oleh seorang pun. Mama, kakak, dan adikku sudah pulang terlebih
dahulu. Aku menyusul belakangan dikarenakan
aku lebih mementingkan tugas kelompok yang diberikan sekolah untuk liburan
Ramadhan tahun ini. Aku meyakinkan kepada mama bahwa aku bisa pulang sendiri.
Rasa takut merasuk ke dalam pikiranku. “Apakah aku
akan baik-baik saja? Selamatkah aku sampai tujuan?” Pertanyaan-pertanyaan itu
selalu hadir dalam benakku. Tapi kucoba tenangkan diriku dengan kata-kata yang
dapat meghilangkan rasa takut.
”Aku sudah kelas tiga SMU, harus mandiri dan tak
lagi bergantung pada orang tua.” Kata-kata itu selalu kutekankan pada benakku.
Kemudian kucoba membaca ayat-ayat suci Al-Quran yang ku ingat. Perlahan rasa
takut tersebut menghilang.
Dikejauhan sayup-sayup masih terdengar gema takbiran.
Perlahan suara itu menghilang seiring ditukar dengan deru angin malam. Tak ada
lagi anak-anak yang berjalan membawa obor mengelilingi desa, tak ada lagi
cahaya, yang ada hanyalah pepohonan yang bergoyang diterpa angin. Malam begitu
sunyi.
Bus yang kutumpangi begitu sesak. Penuh dengan
penumpang-penumpang yang tujuannya sama denganku, Sumatara Barat. Mereka pulang
merantau dari Riau ke Sumatra Barat. Kebanyakan penumpang tersebut adalah ibu-ibu
dan bapak-bapak yang pulang berdagang mencari rezeki di rantau orang. Sebagian
dari mereka ada yang sudah tertidur. Tak kuasa menahan rasa lelah membuat
mereka tertidur dengan pulas meskipun tak ada selimut, bantal, dan guling yang
dapat menghangatkan tubuh mereka.
Bus ini sudah terlalu tua. Itu terlihat dari
bagian-bagian bus yang sudah dipenuhi oleh karat dimana-mana, kursi yang
warnaya sudah tak lagi cerah dan nama bus yang terpampang di kaca depan tak
lagi utuh. Tapi bus ini tetap melakukan tugasnya dengan setia, mengangkut
penumpang.
Perjalanan malam yang panjang sudah dimulai.
Aktifitas yang kulakukan di atas bus sudah kuhentikan, yaitu SMS-an dengan
teman-temanku yang di Pekanbaru sekedar mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri
dan tidak lupa sambil megaitkan headset
di telinga mendengarkan musik kesukaanku. Kini mataku sudah lelah, kulihat jam
di pergelangan tanganku sudah menunjukkan jam sebelas malam, lebih baik aku
tidur, mudah-mudahan aku bemimpi indah. Akan tetapi itu takkan mungkin.
Bagaimana mungkin aku bisa tidur dan bermimpi indah dengan perasaan yang
was-was dan takut ini. Tapi lama kelaman aku tertidur dan kemudian terbangun
kembali karena dinginnya malam begitu menusuk ke dalam tulangku. Kejadian
tersebut terus berulang-ulang.
Tiba-tiba aku terbangun. Rupanya bus yang
kutumpanngi tak lagi melaju. Dari
belakang terdengar suara penumpang lain mulai ribut.
“Ada apa gerangan?” Pertanyaan mulai merasuk dalam
pikiranku. Ingin aku bertanya pada ibu-ibu yang duduk di sebelahku. Kuurungkan
niatku, ibu-ibu yang duduk disebelahku ternyata masih tertidur dengan pulasnya.
Aku coba untuk bertanya pada penumpang yang duduk di belakangku. Ternyata
seorang lelaki tua yang memiliki kumis, dan janggut yang begitu lebat, serta
rambutnya yang ikal tak beraturan. Seram, itu yang kulihat dari wajah lelaki
tua itu. Tapi apa mau dikata aku sudah terlanjur melihat kebelakang dan lelaki
tua itu pun melihatku, mata kami saling
bertatapan. Aku susun keberanianku untuk bertanya.
“Ada apa, Pak? kenapa busnya berhenti?” tanyaku
dengan wajah yang dipaksakan untuk tersenyum.
“Bannya bocor,”
jawab lelaki tua itu dingin.
“Pak, sekarang posisi kita di mana?” tanyaku lagi agak takut.
“Saya kurang tahu,” jawab bapak itu singkat.
Mendengar jawaban dari lelaki tua tersebut begitu dingin
membuatku tak berani untuk bertanya kembali. Pertanyaan itu kusimpan tanpa
bertanya lagi kepada penumpang lain. Sembari menunggu, ku hidupkan kembali
musik di handphoneku, tetapi aku tetap
penasaran di mana bus ini terhenti.
Dengan pertanyaan yang masih belum juga terjawab, sesekali aku menguap,
mataku masih mengantuk. Ku arahkan pandanganku ke luar jendela, terlihat
pohon-pohon yang bergoyang dan melambai-lambai tertiup angin. Pikiranku mulai melayang, pohon tersebut telihat olehku seperti melambai
dan memanggilku agar datang untuk mendekatinya. Bulu kudukku merinding, ku
alihkan pandanganku dengan cepat kedalam bus dan cepat kubaca ayat suci
Al-quran untuk mengusir rasa takut tersebut. Tak berapa lama kemudian mesin bus
hidup, bannya sudah diganti dengan ban serep
dan bus dapat melaju seperti semula.
Kini kurasakan bus melaju begitu cepat. Sesekali
terdengar suara derik mesin bus yang sudah tua ini. Aku takut, apakah mungkin
bus ini akan sampai ke tujuan dengan keadaan utuh.
“Bruakk..,” Tiba-tiba terdengar bunyi hantaman yang
sangat keras. Bus seperti menabrak sesuatu. Aku terdorong kedepan. Kekhawatiran
ku bertambah. “Ada apa lagi ini?” tanyaku dalam hati. Kucoba melihat sekeliling.
Semua penumpang tertidur, tak ada yang terbangun.
“Ibu yang di sebelahku mana?” Kini aku baru
menyadarinya ternyata Ibu yang duduk di sebelahku tak ada lagi. “Sejak kapan
Ibu itu turun? Di mana Ibu itu turun? Ada apa dengan busnya? Suara apa tadi
yang terdengar olehku?” Serentet pertanyaan merasuk ke dalam pikiranku, tapi
tak satu pun yang bisa kujawab.
Aneh, itulah yang kurasakan sekarang di dalam bus
ini. Kupalingkan kepalaku kebelakang untuk bertanya pada lelaki tua yang duduk
di belakangku. Aku kaget. Lelaki tua itu juga tak ada, yang terlihat hanyalah seorang
perempuan yang masih tertidur pulas di dekat kursi lelaki tua yang sudah tak
ada itu. “Ada apa ini?” Kulihat lagi sekeliling dengan seksama. Penumpang
tinggal sedikit banyak kursi yang kosong. Perasaanku kian tak menentu, galau
itu yang kurasakan. Wajahku mulai pucat.
“Ada apa, Dik?” tanya perempuan yang duduk
dibelakang tribun kiriku, yang sedari tadi
tertidur kini sudah terbangun, dan menyadari kegelisahanku. Kupalingkan wajahku
kepada perempuan itu.
“Penumpang lainnya pada kemana?” tanyaku penasaran.
“Penumpang yang mana?” tanya perempuan itu kembali.
“Ibu yang duduk di sebelah saya dan Bapak yang duduk
di sebelah Uni,” jawabku meyakinkan.
“Sejak tadi tidak ada yang duduk di sini dan di dekat
adik,” jawabnya heran.
Keningku berkerut. Aku yakin bapak dan Ibu itu ada,
sama-sama penumpang di dalam bus ini. Bahkan aku sempat ngobrol sekedar
bertanya kepada lelaki tua itu. Kemudian kulayangkan pandanganku sekeliling isi
bus ini. Kulihat ada yang janggal, penumpang bertambah sedikit. Kemana
penumpang yang begitu banyak dan penuh
sesak itu? Apakah mereka sudah turun? Itu tak mungkin. Daerah ini hanya
dikelilingi oleh bukit-bukit dan pepohonan yang besar. Tak ada satu pun rumah
penduduk yang tampak. Kucoba memberikan pertanyaan lain kepada perempuan itu.
“Tadi saya mendengar suara hantaman yang keras,
apakah Uni merasakan dan mendengarkannya juga? Tanyaku beruntut
padanya.
“Suara? Suara apa?” tanya perempuan itu kembali.
“Bus ini seperti menabrak sesuatu dan menimbulkan
suara yang begitu keras,” jawabku menjelaskan.
“Saya tak mendengar dan merasakan apa-apa,” jawabnya
singkat.
Kemudian aku mencoba melihat kaca didepan supir.
Tidak ada yang tertabarak kemudian ku palingkan wajahku kearah perempuan tadi
dan bertanya lagi.
“Benarkah Uni tidak mende..,” kerongkonganku tercekat.
Aku tak sanggup melanjutkan pertanyaanku. Wajah perempuan tadi berubah pucat,
penuh luka yang berdarah dan menakutkan. Dia tersenyum miris padaku, membuat
seluruh bulu kudukku berdiri.
“Aaa…” jeritku memecah kesunyian. Aku berdiri sambil
menjerit ketakutan..
“Ada apa, Dik?” tanya seorang lelaki yang duduk
tepat didepanku. Ia menolehkan kepalanya kebelakang.
“Itu, ada
orang yang tubuhnya penuh luka-luka, menakutkan” jawabku ketakutan dengan kedua
tangan menutupi wajahku.
“Di mana?” tanya
lelaki itu heran.
“Di sana,” jawabku menunjuk tempat perempuan tersebut,
mataku masih terpejam.
“Tidak ada yang luka-luka,” jawab lelaki, “walupun
ada, itu wajarkan? Tidak ada yang aneh kok.
Tak usah takut, ” tambahnya lagi sambil tersenyum geli melihat tingkahku yang
aneh.
Kuberanikan untuk melihat kebelakang. Kubuka mataku
perlahan. Benar apa yang dikatakan oleh laki-laki tersebut, tak ada sedikit pun
luka-luka di wajah perempuan tersebut. Perempuan itu hanya heran melihatku. Aku
tertunduk malu. Kemudian aku minta maaf kepada perempuan tersebut.
“Maaf,” kataku dengan wajah malu.
“Tidak apa-apa,” jawab perempuan itu singkat.
Kemudian aku duduk kembali. Kuraih HPku. Kulihat jam menunjukkan angka 12
tepat. Aku duduk dengan beberapa pertanyaan masih bergelayut dipikiranku,
pertanyaan itu belum juga terjawab. Dimanakah penumpang-penumpang itu? Suara
apakah itu?
“Sudahlah aku tak harus memikirkannya,” kataku dalam
hati. Tiba-tiba bus melaju sangat kencang bagaikan kilat, anginnya begitu kuat
menerpa wajahku. Aku kaget, ada apa lagi dengan bus ini? Sekelebat bayangan
hitam berlalu cepat di samping jendela bus yang kutumpangi. Apa itu? Aku
penasaran kemudian kupandangi jendela sekali lagi.
Tiba-tiba “trakk” kaca jendela berbunyi keras,
seakan ada yang melemparnya dengan batu. Aku kaget dan tersurut ke kursi
penumpang di sebelahku. Kurasakan punggungku tertumpu oleh seseorang
dibelakangku. Siapa itu? Kemudian ku membalikkan badan. Aku terperanjat
ternyata lelaki tua itu duduk di sebelahku diam membisu. Seluruh tubuhku dingin
membeku. Darimana lelaki tua itu? Aku ketakutan setengah mati. Kemudian lelaki
itu memandang kearahku. Kulihat wajahnya penuh dengan luka dan darah, begitu seram
dan menakutkan. Lelaki tua itu menyeringai kepadaku. Tampak giginya yang
runcing seperti taring drakula yang siap menerkamku. Bus apa ini? Kenapa begitu
menyeramkan? Kupalingkan wajahku ke penumpang lainnya. Sama halnya dengan
lelaki tua itu, mereka mempunyai luka-luka di tubuhnya dan berdarah.
“Tidakk, toloooong……” jeritku sekuat tenaga. Kututupi
telinga dan mataku. Aku tak bisa bernapas, bus malam menhempaskanku, gelap… Kemudian
kurasakan ada seseorang yang mengguncangkan tubuhku.
“Dik, bangun,” Terdengar suara ibu-ibu di sebelahku.
Aku tersentak kaget. Keringat dingin mengalir di seluruh tubuhku. “Astaghfirullah…” ucapku sambil mengusap
muka. Kulihat berpasang mata penumpang menatap heran padaku. Malu, itu yang
kurasakan saat ini. Ah, aku pasti bermimpi buruk.
*****
Oleh
: Aslihli Zuriati
SMAN
Pintar Kab. Kuantan Singingi
Angin malam menerpa wajahku. Dingin,
itulah yang kurasakan. Bus yang kutumpangi melaju meninggalkan terminal. Aku
duduk dekat jendela memandang bayangan malam yang perlahan berlari kian cepat. Suasana
malam begitu menyeramkan. Hari ini pertama kalinya aku pulang kampung sendirian
tanpa di temani oleh seorang pun. Mama, kakak, dan adikku sudah pulang terlebih
dahulu. Aku menyusul belakangan dikarenakan
aku lebih mementingkan tugas kelompok yang diberikan sekolah untuk liburan
Ramadhan tahun ini. Aku meyakinkan kepada mama bahwa aku bisa pulang sendiri.
Rasa takut merasuk ke dalam pikiranku. “Apakah aku
akan baik-baik saja? Selamatkah aku sampai tujuan?” Pertanyaan-pertanyaan itu
selalu hadir dalam benakku. Tapi kucoba tenangkan diriku dengan kata-kata yang
dapat meghilangkan rasa takut.
”Aku sudah kelas tiga SMU, harus mandiri dan tak
lagi bergantung pada orang tua.” Kata-kata itu selalu kutekankan pada benakku.
Kemudian kucoba membaca ayat-ayat suci Al-Quran yang ku ingat. Perlahan rasa
takut tersebut menghilang.
Dikejauhan sayup-sayup masih terdengar gema takbiran.
Perlahan suara itu menghilang seiring ditukar dengan deru angin malam. Tak ada
lagi anak-anak yang berjalan membawa obor mengelilingi desa, tak ada lagi
cahaya, yang ada hanyalah pepohonan yang bergoyang diterpa angin. Malam begitu
sunyi.
Bus yang kutumpangi begitu sesak. Penuh dengan
penumpang-penumpang yang tujuannya sama denganku, Sumatara Barat. Mereka pulang
merantau dari Riau ke Sumatra Barat. Kebanyakan penumpang tersebut adalah ibu-ibu
dan bapak-bapak yang pulang berdagang mencari rezeki di rantau orang. Sebagian
dari mereka ada yang sudah tertidur. Tak kuasa menahan rasa lelah membuat
mereka tertidur dengan pulas meskipun tak ada selimut, bantal, dan guling yang
dapat menghangatkan tubuh mereka.
Bus ini sudah terlalu tua. Itu terlihat dari
bagian-bagian bus yang sudah dipenuhi oleh karat dimana-mana, kursi yang
warnaya sudah tak lagi cerah dan nama bus yang terpampang di kaca depan tak
lagi utuh. Tapi bus ini tetap melakukan tugasnya dengan setia, mengangkut
penumpang.
Perjalanan malam yang panjang sudah dimulai.
Aktifitas yang kulakukan di atas bus sudah kuhentikan, yaitu SMS-an dengan
teman-temanku yang di Pekanbaru sekedar mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri
dan tidak lupa sambil megaitkan headset
di telinga mendengarkan musik kesukaanku. Kini mataku sudah lelah, kulihat jam
di pergelangan tanganku sudah menunjukkan jam sebelas malam, lebih baik aku
tidur, mudah-mudahan aku bemimpi indah. Akan tetapi itu takkan mungkin.
Bagaimana mungkin aku bisa tidur dan bermimpi indah dengan perasaan yang
was-was dan takut ini. Tapi lama kelaman aku tertidur dan kemudian terbangun
kembali karena dinginnya malam begitu menusuk ke dalam tulangku. Kejadian
tersebut terus berulang-ulang.
Tiba-tiba aku terbangun. Rupanya bus yang
kutumpanngi tak lagi melaju. Dari
belakang terdengar suara penumpang lain mulai ribut.
“Ada apa gerangan?” Pertanyaan mulai merasuk dalam
pikiranku. Ingin aku bertanya pada ibu-ibu yang duduk di sebelahku. Kuurungkan
niatku, ibu-ibu yang duduk disebelahku ternyata masih tertidur dengan pulasnya.
Aku coba untuk bertanya pada penumpang yang duduk di belakangku. Ternyata
seorang lelaki tua yang memiliki kumis, dan janggut yang begitu lebat, serta
rambutnya yang ikal tak beraturan. Seram, itu yang kulihat dari wajah lelaki
tua itu. Tapi apa mau dikata aku sudah terlanjur melihat kebelakang dan lelaki
tua itu pun melihatku, mata kami saling
bertatapan. Aku susun keberanianku untuk bertanya.
“Ada apa, Pak? kenapa busnya berhenti?” tanyaku
dengan wajah yang dipaksakan untuk tersenyum.
“Bannya bocor,”
jawab lelaki tua itu dingin.
“Pak, sekarang posisi kita di mana?” tanyaku lagi agak takut.
“Saya kurang tahu,” jawab bapak itu singkat.
Mendengar jawaban dari lelaki tua tersebut begitu dingin
membuatku tak berani untuk bertanya kembali. Pertanyaan itu kusimpan tanpa
bertanya lagi kepada penumpang lain. Sembari menunggu, ku hidupkan kembali
musik di handphoneku, tetapi aku tetap
penasaran di mana bus ini terhenti.
Dengan pertanyaan yang masih belum juga terjawab, sesekali aku menguap,
mataku masih mengantuk. Ku arahkan pandanganku ke luar jendela, terlihat
pohon-pohon yang bergoyang dan melambai-lambai tertiup angin. Pikiranku mulai melayang, pohon tersebut telihat olehku seperti melambai
dan memanggilku agar datang untuk mendekatinya. Bulu kudukku merinding, ku
alihkan pandanganku dengan cepat kedalam bus dan cepat kubaca ayat suci
Al-quran untuk mengusir rasa takut tersebut. Tak berapa lama kemudian mesin bus
hidup, bannya sudah diganti dengan ban serep
dan bus dapat melaju seperti semula.
Kini kurasakan bus melaju begitu cepat. Sesekali
terdengar suara derik mesin bus yang sudah tua ini. Aku takut, apakah mungkin
bus ini akan sampai ke tujuan dengan keadaan utuh.
“Bruakk..,” Tiba-tiba terdengar bunyi hantaman yang
sangat keras. Bus seperti menabrak sesuatu. Aku terdorong kedepan. Kekhawatiran
ku bertambah. “Ada apa lagi ini?” tanyaku dalam hati. Kucoba melihat sekeliling.
Semua penumpang tertidur, tak ada yang terbangun.
“Ibu yang di sebelahku mana?” Kini aku baru
menyadarinya ternyata Ibu yang duduk di sebelahku tak ada lagi. “Sejak kapan
Ibu itu turun? Di mana Ibu itu turun? Ada apa dengan busnya? Suara apa tadi
yang terdengar olehku?” Serentet pertanyaan merasuk ke dalam pikiranku, tapi
tak satu pun yang bisa kujawab.
Aneh, itulah yang kurasakan sekarang di dalam bus
ini. Kupalingkan kepalaku kebelakang untuk bertanya pada lelaki tua yang duduk
di belakangku. Aku kaget. Lelaki tua itu juga tak ada, yang terlihat hanyalah seorang
perempuan yang masih tertidur pulas di dekat kursi lelaki tua yang sudah tak
ada itu. “Ada apa ini?” Kulihat lagi sekeliling dengan seksama. Penumpang
tinggal sedikit banyak kursi yang kosong. Perasaanku kian tak menentu, galau
itu yang kurasakan. Wajahku mulai pucat.
“Ada apa, Dik?” tanya perempuan yang duduk
dibelakang tribun kiriku, yang sedari tadi
tertidur kini sudah terbangun, dan menyadari kegelisahanku. Kupalingkan wajahku
kepada perempuan itu.
“Penumpang lainnya pada kemana?” tanyaku penasaran.
“Penumpang yang mana?” tanya perempuan itu kembali.
“Ibu yang duduk di sebelah saya dan Bapak yang duduk
di sebelah Uni,” jawabku meyakinkan.
“Sejak tadi tidak ada yang duduk di sini dan di dekat
adik,” jawabnya heran.
Keningku berkerut. Aku yakin bapak dan Ibu itu ada,
sama-sama penumpang di dalam bus ini. Bahkan aku sempat ngobrol sekedar
bertanya kepada lelaki tua itu. Kemudian kulayangkan pandanganku sekeliling isi
bus ini. Kulihat ada yang janggal, penumpang bertambah sedikit. Kemana
penumpang yang begitu banyak dan penuh
sesak itu? Apakah mereka sudah turun? Itu tak mungkin. Daerah ini hanya
dikelilingi oleh bukit-bukit dan pepohonan yang besar. Tak ada satu pun rumah
penduduk yang tampak. Kucoba memberikan pertanyaan lain kepada perempuan itu.
“Tadi saya mendengar suara hantaman yang keras,
apakah Uni merasakan dan mendengarkannya juga? Tanyaku beruntut
padanya.
“Suara? Suara apa?” tanya perempuan itu kembali.
“Bus ini seperti menabrak sesuatu dan menimbulkan
suara yang begitu keras,” jawabku menjelaskan.
“Saya tak mendengar dan merasakan apa-apa,” jawabnya
singkat.
Kemudian aku mencoba melihat kaca didepan supir.
Tidak ada yang tertabarak kemudian ku palingkan wajahku kearah perempuan tadi
dan bertanya lagi.
“Benarkah Uni tidak mende..,” kerongkonganku tercekat.
Aku tak sanggup melanjutkan pertanyaanku. Wajah perempuan tadi berubah pucat,
penuh luka yang berdarah dan menakutkan. Dia tersenyum miris padaku, membuat
seluruh bulu kudukku berdiri.
“Aaa…” jeritku memecah kesunyian. Aku berdiri sambil
menjerit ketakutan..
“Ada apa, Dik?” tanya seorang lelaki yang duduk
tepat didepanku. Ia menolehkan kepalanya kebelakang.
“Itu, ada
orang yang tubuhnya penuh luka-luka, menakutkan” jawabku ketakutan dengan kedua
tangan menutupi wajahku.
“Di mana?” tanya
lelaki itu heran.
“Di sana,” jawabku menunjuk tempat perempuan tersebut,
mataku masih terpejam.
“Tidak ada yang luka-luka,” jawab lelaki, “walupun
ada, itu wajarkan? Tidak ada yang aneh kok.
Tak usah takut, ” tambahnya lagi sambil tersenyum geli melihat tingkahku yang
aneh.
Kuberanikan untuk melihat kebelakang. Kubuka mataku
perlahan. Benar apa yang dikatakan oleh laki-laki tersebut, tak ada sedikit pun
luka-luka di wajah perempuan tersebut. Perempuan itu hanya heran melihatku. Aku
tertunduk malu. Kemudian aku minta maaf kepada perempuan tersebut.
“Maaf,” kataku dengan wajah malu.
“Tidak apa-apa,” jawab perempuan itu singkat.
Kemudian aku duduk kembali. Kuraih HPku. Kulihat jam menunjukkan angka 12
tepat. Aku duduk dengan beberapa pertanyaan masih bergelayut dipikiranku,
pertanyaan itu belum juga terjawab. Dimanakah penumpang-penumpang itu? Suara
apakah itu?
“Sudahlah aku tak harus memikirkannya,” kataku dalam
hati. Tiba-tiba bus melaju sangat kencang bagaikan kilat, anginnya begitu kuat
menerpa wajahku. Aku kaget, ada apa lagi dengan bus ini? Sekelebat bayangan
hitam berlalu cepat di samping jendela bus yang kutumpangi. Apa itu? Aku
penasaran kemudian kupandangi jendela sekali lagi.
Tiba-tiba “trakk” kaca jendela berbunyi keras,
seakan ada yang melemparnya dengan batu. Aku kaget dan tersurut ke kursi
penumpang di sebelahku. Kurasakan punggungku tertumpu oleh seseorang
dibelakangku. Siapa itu? Kemudian ku membalikkan badan. Aku terperanjat
ternyata lelaki tua itu duduk di sebelahku diam membisu. Seluruh tubuhku dingin
membeku. Darimana lelaki tua itu? Aku ketakutan setengah mati. Kemudian lelaki
itu memandang kearahku. Kulihat wajahnya penuh dengan luka dan darah, begitu seram
dan menakutkan. Lelaki tua itu menyeringai kepadaku. Tampak giginya yang
runcing seperti taring drakula yang siap menerkamku. Bus apa ini? Kenapa begitu
menyeramkan? Kupalingkan wajahku ke penumpang lainnya. Sama halnya dengan
lelaki tua itu, mereka mempunyai luka-luka di tubuhnya dan berdarah.
“Tidakk, toloooong……” jeritku sekuat tenaga. Kututupi
telinga dan mataku. Aku tak bisa bernapas, bus malam menhempaskanku, gelap… Kemudian
kurasakan ada seseorang yang mengguncangkan tubuhku.
“Dik, bangun,” Terdengar suara ibu-ibu di sebelahku.
Aku tersentak kaget. Keringat dingin mengalir di seluruh tubuhku. “Astaghfirullah…” ucapku sambil mengusap
muka. Kulihat berpasang mata penumpang menatap heran padaku. Malu, itu yang
kurasakan saat ini. Ah, aku pasti bermimpi buruk.
*****
0 komentar:
Posting Komentar