KISAH
IMAM MALIK DAN KHALIFAH HARUN AL RASHID
MANUSIA
YANG MENCARI ILMU, BUKAN ILMU YANG MENCARI MANUSIA
(Khazanah
Islam Trans 7)
Dalam sebuah kunjungan ke kota Madinah,
Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa saat itu), tertarik
mengikuti ceramah al muwatta' (himpunan hadits) yang diadakan Imam Malik. Untuk
hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam. Namun Imam Malik memberikan
nasihat kepada Khalifah Harun, ''Rasyid, leluhur Anda selalu melindungi
pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila sebagai khalifah Anda tidak
menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat lagi. Manusia yang mencari
ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia.''
Sedianya, khalifah ingin agar para jamaah
meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun, permintaan itu tak
dikabulkan Imam Malik. ''Saya tidak dapat mengorbankan kepentingan umum hanya
untuk kepentingan seorang pribadi.'' Sang khalifah pun akhirnya mengikuti
ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil.
Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah
Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail
bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 712 M dan wafat tahun
796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat, berstatus sosial tinggi, baik
sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah asal leluhurnya adalah Yaman,
namun setelah nenek moyangnya menganut Islam, mereka pindah ke Madinah.
Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam
pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya termasuk kelompok ulama
hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil Imam Malik tak berniat
meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa Madinah adalah kota dengan
sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran ulama-ulama besarnya.
Kendati demikian, dalam mencari ilmu Imam
Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat, sang imam sampai harus
menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya pendidikannya. Menurutnya,
tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual tertinggi sebelum berhasil
mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah ujian hakiki seorang manusia.
Semoga kita bisa mengambil ibroh dari kisah
teladan ini,
0 komentar:
Posting Komentar