Kisah
Imam Syafi'i dan Ibunya
(Khazanah
Islam Trans 7)
Allah subhanahu wa ta’ala adalah Dzat Yang
Maha Berkehendak. Rahmat-Nya juga sangat luas dan pasti akan sampai kepada
siapa saja yang Ia kehendaki untuk dirahmatiNya.
Salah satu karunia besar yang diberikan kepada
al-Imam asy-Syafi’i adalah ibundanya yang sangat paham akan pentingnya mencari
ilmu (agama).
Sehingga meskipun hidup sebagai anak yatim dan
ibundanya tidak memiliki harta, jadilah Muhammad bin Idris menjadi al-Imam
asy-Syafi’i yang kita kenal hingga sekarang sebagai salah seorang imam besar.
Kemiskinan dan hidup sebagai anak yatim tidak
menjadi penghalang bagi beliau untuk menggapai kedudukan yang tinggi. Tentunya
ini semua atas kehendak dan karunia Allah, kemudian keinginan yang kuat dari
ibundanya.
Al-Imam asy-Syafi’i menuturkan sendiri tentang
kondisi ibunya yang miskin:
“Aku tumbuh sebagai seorang yatim di bawah
asuhan ibuku, dan tidak ada harta pada beliau yang bisa diberikan kepada
guruku. Dan ketika itu guruku merasa lega dariku hanya dengan aku
menggantikannya apabila ia pergi.”
Beliau juga mengatakan: “Aku tidak memiliki
harta. Dan aku menuntut ilmu ketika masih muda.”
Setelah tinggal beberapa lama untuk
membesarkan Syafi’i kecil di daerah Ghazah, ‘Asqalan, Yaman, ibunda al-Imam
asy-Syafi’i membawanya ke negeri Hijaz. Ibunda asy-Syafi’i memasukkan Syafi’i
kecil ke dalam kaumnya, yaitu kabilah al-Azdi, karena ibunda Syafi’i keturunan
kabilah al-Azdi. Dan mulailah Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an hingga berhasil
menghafal seluruh al-Qur’an pada usia tujuh tahun.
Tinggallah ibunda asy-Syafi’i bersamanya di
tengah-tengah kabilah ini hingga Syafi’i berusia sepuluh tahun. Ketika telah
berusia sepuluh tahun, ibunda Syafi’i khawatir nasab keturunan beliau yang
mulia akan dilupakan dan hilang.
Yaitu nasab keturunan yang masih bertemu
dengan nasab Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka ibunda Syafi’i membawa memindahkannya ke
kota Makkah. (Tawali Ta’sis karya Ibnu Hajar dengan beberapa penyusaian)
Di antara perhatian ibunda Syafi’i yang besar
terhadap ilmu, ia tidak membukakan pintu untuk Syafi’i ketika pulang dari
majelis salah seorang ulama di masa itu agar Syafi’i kembali ke majelis
tersebut hingga mendapatkan ilmu.
0 komentar:
Posting Komentar