KERUNTUHAN TEORI EVOLUSI
(Harun Yahya)
BAB 1
AGAR BEBAS DARI PRASANGKA
Kebanyakan
orang menerima apa pun yang mereka peroleh dari ilmuwan sebagai kebenaran
sejati. Tidak terlintas dalam pikiran mereka bahwa ilmuwan pun mungkin memiliki
berbagai prasangka filosofis atau ideologis. Pada kenyataannya, ilmuwan
evolusionis telah memaksakan prasangka dan pandangan filosofis mereka kepada
masyarakat luas dengan kedok ilmu pengetahuan. Misalnya, meskipun sadar bahwa
kejadian acak hanya akan menghasilkan ketidakteraturan dan kekacauan, mereka
tetap menyatakan bahwa keteraturan, perencanaan dan desain yang sangat
mengagumkan pada jagat raya dan makhluk hidup terjadi secara kebetulan.
Sebagai
contoh, ahli biologi semacam ini akan dengan mudahnya menemukan keselarasan
yang menakjubkan pada molekul protein, bahan penyusun kehidupan, dan molekul
ini sama sekali tidak mungkin muncul secara kebetulan. Meski demikian ia malah
menyatakan bahwa protein ini muncul pada kondisi bumi yang primitif secara
kebetulan miliaran tahun yang lalu. Tidak cukup sampai di sini, ia juga
menyatakan tanpa keraguan bahwa tidak hanya satu, tetapi jutaan protein
terbentuk secara kebetulan, dan selanjutnya secara luar biasa bergabung
membentuk sel hidup pertama. Lebih jauh lagi, ia berkeras mempertahankan
pandangannya secara fanatik. Orang ini adalah ilmuwan "evolusionis".
Jika ilmuwan
yang sama melewati sebuah jalan datar, dan menemukan tiga buah batu bata
bertumpuk rapi, tentunya ia tidak akan pernah menganggap bahwa ketiga batu bata
tersebut terbentuk secara kebetulan dan selanjutnya menyusun diri menjadi
tumpukan, juga secara kebetulan. Sudah pasti, siapa pun yang membuat pernyataan
seperti itu akan dianggap tidak waras.
Lalu,
bagaimana mungkin mereka yang mampu menilai peristiwa-peristiwa biasa secara
rasional, dapat bersikap begitu tidak masuk akal ketika memikirkan keberadaan
diri mereka sendiri?
Sikap seperti
ini tidak mungkin diambil atas nama ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan,
jika terdapat dua alternatif dengan kemungkinan yang sama mengenai suatu
masalah, kita diharuskan mempertimbangkan keduanya. Dan jika kemungkinan salah
satu alternatif tersebut jauh lebih kecil, misalnya hanya 1 %, maka tindakan
yang rasional dan ilmiah adalah mengambil alternatif lainnya, yang memiliki
kemungkinan 99 %, sebagai pilihan yang benar.
Mari kita
teruskan dengan berpegang pada pedoman ilmiah ini. Terdapat dua pandangan yang
dapat dikemukakan tentang bagaimana makhluk hidup muncul di muka bumi.
Pandangan pertama menyatakan bahwa semua makhluk hidup diciptakan oleh Allah
dalam tatanan yang rumit seperti sekarang ini. Sedangkan pandangan kedua
menyatakan bahwa kehidupan terbentuk oleh kebetulan-kebetulan acak dan di luar
kesengajaan. Pandangan terakhir ini adalah pernyataan teori evolusi.
Jika kita
mengacu kepada data-data ilmiah, misalnya di bidang biologi molekuler,
jangankan satu sel hidup, salah satu dari jutaan protein di dalam sel tersebut
sangat tidak mungkin muncul secara kebetulan. Sebagaimana juga akan
diilustrasikan dalam bab-bab berikutnya, perhitungan probabilitas telah
berkali-kali menegaskan hal ini. Jadi pandangan evolusionis tentang kemunculan
makhluk hidup memiliki probabilitas nol untuk diterima sebagai kebenaran.
Artinya,
pandangan pertama memiliki kemungkinan "100 %" sebagai suatu
kebenaran. Jadi, kehidupan telah dimunculkan dengan sengaja, atau dengan kata
lain, kehidupan itu "diciptakan". Semua makhluk hidup telah muncul
atas kehendak Sang Pencipta yang memiliki kekuatan, kebijaksanaan dan ilmu yang
tak tertandingi. Kenyataan ini bukan sekadar masalah keyakinan; ini adalah
kesimpulan yang sudah semestinya dicapai melalui kearifan, logika dan ilmu
pengetahuan.
Dengan
begitu, sudah seharusnya ilmuwan "evolusionis" tadi menarik
pernyataan mereka dan menerima fakta yang jelas dan telah terbukti. Dengan
bersikap sebaliknya, ia telah mengorbankan ilmu pengetahuan demi filsafat,
ideologi dan dogma yang diikutinya, dan tidak menjadi seorang ilmuwan sejati.
Kemarahan,
sikap keras kepala dan prasangka "ilmuwan" ini semakin bertambah
setiap kali ia berhadapan dengan kenyataan. Sikapnya dapat dijelaskan dengan
satu kata: "keyakinan". Tetapi keyakinan tersebut adalah keyakinan
takhayul yang buta, karena hanya itulah penjelasan bagi ketidakpeduliannya
terhadap fakta-fakta atau kesetiaan seumur hidup kepada skenario tak masuk akal
yang ia susun dalam khayalannya sendiri.
MATERIALISME BUTA
Keyakinan
yang kita bicarakan ini adalah filsafat materialistis, yang berpendapat bahwa
materi bersifat kekal, dan tidak ada yang lain kecuali materi. Teori evolusi
menjadi semacam "pondasi ilmiah" filsafat materialistis ini, sehingga
dibela secara membuta demi mempertahankan filsafat tersebut. Ketika ilmu
pengetahuan menggugurkan pernyataan-pernyataan tentang evolusi pada penghujung
abad ke-20, mereka berupaya mendistorsi dan menempatkan ilmu pengetahuan untuk
mendukung teori evolusi, sehingga ideologi materialisme tetap hidup.
Kutipan dari
salah seorang ahli biologi evolusionis ternama dari Turki berikut ini merupakan
contoh nyata untuk melihat tujuan dari penilaian menyimpang akibat keyakinan
buta ini. Ilmuwan ini membahas probabilitas pembentukan secara kebetulan
sitokrom-C, salah satu enzim terpenting bagi kehidupan:
Probabilitas
pembentukan rangkaian sitokrom-C mendekati nol. Jadi, jika kehidupan memerlukan
sebuah rangkaian tertentu, maka dapat dikatakan bahwa ia memiliki probabilitas
untuk terwujud hanya satu kali di seluruh alam semesta. Jika tidak,
kekuatan-kekuatan metafisis di luar definisi kita mestilah telah berperan dalam
pembentukan tersebut. Menerima pernyataan terakhir ini tidak sesuai dengan
tujuan-tujuan ilmu pengetahuan, karenanya kita harus mengkaji hipotesis
pertama. 1
Bagi ilmuwan
ini, menerima sebuah kemungkinan yang "mendekati nol" lebih ilmiah
daripada menerima fakta penciptaan. Padahal menurut pedoman ilmiah, jika
terdapat dua alternatif penjelasan tentang suatu kejadian dan salah satunya
memiliki kemungkinan yang "mendekati nol", maka yang benar adalah
alternatif lainnya. Namun pendekatan materialistis dogmatis ini melarang
pengakuan terhadap Pencipta Yang Mahaagung. Pelarangan ini mengarahkan
ilmuwan tersebut dan banyak ilmuwan lain yang mempercayai dogma materialis ini
untuk menerima pernyataan-pernyataan yang bertentangan sama sekali dengan akal.
Michael
Behe: "Kerumitan yang luar biasa dari sebuah sel ini disambut dengan
kesadaran yang tak terungkap."
Orang-orang
yang mempercayai ilmuwan tersebut pun menjadi terpikat dan dibutakan oleh
mantra materialistis yang sama, dan mengalami kondisi psikologis serupa ketika
membaca buku-buku dan artikel-artikel mereka.
Sudut pandang
materialistis dogmatis menjadi penyebab banyaknya ilmuwan ternama yang ateis.
Sedangkan mereka yang telah membebaskan diri dari jeratan mantra ini dan mau
membuka pikiran, tidak akan ragu menerima keberadaan Sang Pencipta. Ahli
biokimia Amerika, Dr. Michael J. Behe, salah seorang ilmuwan terkemuka
pendukung teori "intelligent design" yang akhir-akhir ini
telah diterima luas, menggambarkan para ilmuwan yang tidak mempercayai
"desain" atau "penciptaan" makhluk hidup sebagai berikut:
Selama empat
dekade terakhir, bio-kimia modern telah berhasil menyingkap rahasia sel. Hal
ini menuntut puluhan ribu orang mendedikasikan bagian terbaik dari hidup mereka
untuk pekerjaan laboratorium yang membosankan.... Usaha kumulatif meneliti sel,
yang berarti meneliti kehidupan di tingkat molekuler, menghasilkan sebuah
teriakan tajam, jelas dan nyaring, "Desain!". Hasilnya sangat jelas
dan begitu signifikan, sehingga harus dikategorikan sebagai sebuah pencapaian
terbesar dalam sejarah ilmu pengetahuan.... Anehnya, kerumitan yang luar biasa
dari sebuah sel ini disambut dengan kesadaran yang tak terungkap.
Mengapa komunitas ilmuwan tidak antusias menyambut penemuan yang mengejutkan
ini? Mengapa observasi desain ini diselimuti dengan tabir intelektual? Yang
menjadi dilema adalah bahwa ketika satu sisi seekor gajah diberi label
"intelligent design", sisi yang lain harus diberi label
"Tuhan". 2
Inilah
kesulitan bagi ilmuwan evolusionis ateis yang An-da saksikan di majalah-majalah
dan televisi dan menulis buku-buku yang mungkin Anda baca. Semua penelitian
ilmiah yang mereka lakukan menunjukkan keberadaan Sang Pencipta. Akan tetapi,
karena telah begitu mati rasa dan buta oleh pendidikan materialistik dogmatis,
mereka masih saja bersikeras menolak.
Mereka yang
terus-menerus mengabaikan tanda-tanda dan bukti-bukti nyata keberadaan Pencipta
akan kehilangan seluruh kepekaan. Mereka terperangkap dalam kepercayaan diri
yang menyesatkan akibat memudarnya kepekaan, dan akhirnya menjadi pendukung
kemustahilan. Contohnya Richard Dawkins, seorang evolusionis terkemuka yang
menyeru umat Kristen untuk tidak meyakini mukjizat, bahkan jika mereka melihat
patung Bunda Maria melambaikan tangannya. Menurut Dawkin, "Mungkin saja
semua atom penyusun lengan patung itu kebetulan bergerak ke arah yang sama pada
saat bersamaan - suatu kejadian dengan probabilitas teramat kecil, tetapi mungkin
terjadi." 3
Richard
Dawkins, sibuk mengajarkan evolusi pada anak-anak
Masalah
psikis orang-orang yang tidak beriman telah ada sepanjang sejarah.
INDOKTRINASI TEORI EVOLUSI SECARA MASSAL
Sebagaimana
ditunjukkan dalam ayat-ayat di atas, salah satu penyebab manusia tidak mampu
melihat realitas keberadaan mereka adalah semacam "mantra" yang
mengaburkan penalaran mereka. "Mantra" ini pula yang mendasari
seluruh dunia menerima teori evolusi. Mantra yang dimaksud di sini adalah suatu
pengondisian melalui indoktrinasi. Orang-orang telah diindoktrinasi sedemikian
gencar mengenai kebenaran teori evolusi hingga mereka tidak menyadari
penyimpangan yang ada.
Indoktrinasi
ini berdampak negatif pada otak dan melumpuhkan kemampuan menilai sesuatu. Pada
akhirnya, otak yang dibombardir oleh indoktrinasi terus-menerus ini mulai
menerima realitas tidak sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana yang
diindoktrinasikan. Fenomena ini dapat dijumpai pada sejumlah contoh lain.
Misalnya, jika seseorang dihipnotis dan diindoktrinasi bahwa tempat tidur
tempatnya berbaring adalah sebuah mobil, ia akan tetap merasa tempat tidur itu
sebagai sebuah mobil meski masa hipnotis telah selesai. Ia menganggap hal ini
sangat logis dan rasional karena ia benar-benar melihatnya demikian dan ia
tidak ragu sedikit pun. Contoh yang menunjukkan keampuhan dan kekuatan
mekanisme indoktrinasi ini merupakan realitas ilmiah yang telah dibuktikan
melalui banyak percobaan, telah dilaporkan dalam literatur ilmiah, serta
merupakan santapan sehari-hari buku-buku pelajaran psikologi dan psikiatri.
Teori
evolusi, dan materialisme yang berpijak padanya, dijejalkan kepada masyarakat
luas melalui metode indoktrinasi seperti ini. Mereka yang tiada henti menemui
indoktrinasi evolusi ini di berbagai media massa, sumber akademis, dan wahana
"ilmiah", tidak menyadari bahwa menerima teori ini bertentangan
dengan prinsip nalar yang paling mendasar. Indoktrinasi serupa pun menjerat
para ilmuwan. Ilmuwan muda yang sedang meniti karier menerima cara pandang
materialis ini dengan dosis yang bertambah seiring perjalanan waktu. Akibat
mantra ini, banyak ilmuwan evolusionis terus mencari pembenaran ilmiah bagi
pernyataan evolusionis abad ke-19 yang tidak masuk akal, usang, dan telah lama
digugurkan oleh bukti-bukti ilmiah.
Ada pula
mekanisme tambahan yang memaksa ilmuwan menjadi evolusionis dan materialis. Di negara-negara Barat,
seorang ilmuwan harus memenuhi beberapa persyaratan untuk mendapatkan promosi,
menerima pengakuan akademis, atau agar artikelnya diterbitkan dalam
jurnal-jurnal ilmiah. Pengakuan terang-terangan terhadap teori evolusi adalah
kriteria nomor satu. Sistem ini membuat para ilmuwan menghabiskan seluruh hidup
dan karier ilmiahnya demi sebuah keyakinan dogmatis.
Inilah
realitas sesungguhnya di balik pernyataan "evolusi masih tetap diterima
oleh dunia ilmu pengetahuan". Evolusi dipertahankan hidup bukan karena
memiliki kelayakan ilmiah, tetapi karena merupakan sebuah kewajiban ideologis.
Sangat sedikit ilmuwan yang menyadari kenyataan ini, dan berani menunjukkan
"sang raja tidak mengenakan selembar baju pun".
Bagian
selanjutnya dari buku ini akan mengetengahkan penemuan-penemuan ilmiah modern
yang telah meruntuhkan kepercayaan evolusionis dan yang menunjukkan bukti-bukti
nyata keberadaan Allah. Pembaca akan menyaksikan bahwa teori evolusi ternyata
merupakan kebohongan - sebuah kebohongan yang dibuktikan oleh ilmu pengetahuan
pada tiap tahapannya, akan tetapi tetap saja dipertahankan untuk menutupi fakta
penciptaan. Diharapkan pembaca akan membebaskan diri dari mantra yang
menumpulkan pikiran dan melumpuhkan kemampuan menilai tersebut, dan selanjutnya
merenungkan dengan sungguh-sungguh apa yang disampaikan dalam buku ini.
Jika ia
melepaskan diri dari jerat mantra ini dan mampu berpikir jernih, bebas dan
tanpa prasangka, ia akan segera menemukan kebenaran sebening kristal. Kebenaran
tak terbantahkan ini, yang telah ditunjukkan pula oleh ilmu pengetahuan modern
dalam semua aspek, adalah bahwa makhluk hidup muncul bukan secara kebetulan
melainkan sebagai hasil penciptaan. Manusia akan dengan mudah melihat fakta
penciptaan ketika ia mau memikirkan bagaimana dirinya menjadi ada, bagaimana ia
tercipta dari setetes air, atau kesempurnaan pada setiap makhluk hidup lain
Referensi:
1. Ali
Demirsoy, Kalitim ve Evrim (Vererbung und Evolution), Ankara: Meteksan
Publishing Co., 1984, S. 61
2. Michael
J. Behe, Darwin's Black Box, New York: Free Press, 1996, S. 232 f.
3. Richard
Dawkins, The Blind Watchmaker, London: W. W. Norton, 1986, S. 159
* * * * *
Sumber: www.harunyahya.com
0 komentar:
Posting Komentar