Rabu, 08 Oktober 2014

KERUNTUHAN TEORI EVOLUSI - BAB 10 (Bagian C)


KERUNTUHAN TEORI EVOLUSI
(Harun Yahya)

BAB 10 (Bagian C)

EKSPERIMEN MILLER

Tujuan Stanley Miller adalah mengajukan penemuan eksperimental yang menunjukkan bahwa asam amino, bahan pembangun protein, dapat muncul "secara kebetulan" di bumi yang tidak berkehidupan miliaran tahun lalu.

Dalam eksperimennya, Miller menggunakan campuran gas yang diasumsikan terdapat di bumi purba (yang kelak terbukti tidak realistis) terdiri dari amonia, metan, hidrogen dan uap air. Karena dalam kondisi alamiah gas-gas ini tidak saling bereaksi, Miller memberikan stimulasi energi untuk memulai reaksi antara gas-gas tersebut. Dengan menganggap energi ini bisa berasal dari kilat dalam atmosfir purba, ia meng-gunakan sumber penghasil listrik buatan untuk menyediakan energi tersebut.

Miller mendidihkan campuran gas ini pada suhu 100°C selama seminggu, dan sebagai tambahan dia mengalirkan arus listrik. Di akhir minggu, Miller menganalisis senyawa-senyawa kimia yang terbentuk di dasar gelas percobaan dan menemukan tiga dari 20 jenis asam amino, bahan dasar protein telah tersintesis.

Eksperimen ini membangkitkan semangat evolusionis dan dianggap sebagai sukses besar. Dalam luapan kegembiraan, berbagai terbitan memasang tajuk utama seperti "Miller menciptakan kehidupan". Akan tetapi, molekul-molekul yang berhasil disintesis Miller ternyata hanya beberapa molekul "tidak hidup".

Didorong oleh eksperimen ini, evolusionis segera membuat skenario baru. Hipotesis tahap lanjutan tentang pembentukan protein segera dirumuskan. Menurut mereka, asam-asam amino kemudian bergabung dalam urutan yang tepat secara kebetulan untuk membentuk protein. Sebagian protein-protein yang terbentuk secara kebetulan ini menempatkan diri mereka dalam struktur seperti membran yang "entah bagaimana" muncul dan membentuk sel primitif. Sel-sel kemudian bergabung dan membentuk organisme hidup. Akan tetapi, eksperimen Miller hanya akal-akalan dan telah terbukti tidak benar dalam segala aspek.

EKSPERIMEN MILLER HANYA AKAL-AKALAN

Eksperimen Miller berusaha membuktikan bahwa asam amino dapat terbentuk dengan sendirinya dalam kondisi bumi purba. Namun, eksperimen ini tidak konsisten dalam sejumlah hal:

1. Dengan menggunakan mekanisme cold trap, Miller mengisolasi asam-asam amino dari lingkungannya segera setelah mereka terbentuk. Jika dia tidak melakukannya, kondisi lingkungan tempat asam amino terbentuk akan segera menghancurkan molekul ini.

Tentu saja mekanisme isolasi yang disengaja seperti ini tidak ada dalam kondisi bumi purba. Tanpa mekanisme seperti ini, kalaupun ada satu asam amino terbentuk, ia akan segera hancur. Seorang ahli kimia, Richard Bliss, mengungkapkan kontradiksi ini sebagai berikut: "Benar, tanpa cold trap, senyawa kimia yang dihasilkan akan dihancurkan oleh aliran listrik."11

Memang, dalam percobaan sebelumnya dengan bahan-bahan yang sama tetapi tanpa mekanisme cold trap, Miller tidak dapat membentuk satu pun asam amino.

2. Lingkungan atmosfir purba yang disimulasikan Miller dalam eksperimennya tidak realistis. Pada tahun 1980-an, para ilmuwan sepakat bahwa yang seharusnya terdapat pada lingkungan artifisial tersebut adalah nitrogen dan karbon dioksida, bukannya metan dan amonia. Setelah bungkam cukup lama, Miller sendiri mengakui pula bahwa kondisi atmosfir dalam eksperimennya tidak realistis.12

Jadi mengapa Miller berkeras menggunakan gas-gas ini? Jawabannya sederhana: tanpa amonia, mustahil mensintesis asam amino. Kevin McKean mengungkapkan hal ini dalam sebuah artikel yang dimuat dalam majalah Discover:

Miller dan Urey meniru atmosfir bumi dahulu kala dengan campuran metan dan amonia. Menurut mereka, bumi merupakan campuran homogen dari logam, batuan dan es. Namun, dalam penelitian terakhir terungkap bahwa pada saat itu bumi sangat panas dan terbentuk dari nikel dan besi cair. Jadi, atmosfir kimiawi saat itu seharusnya didominasi nitrogen (N2), karbon dioksida (CO2) dan uap air (H20). Tetapi gas-gas ini bukan gas-gas yang tepat untuk mensintesis senyawa organik, seperti metan dan amonia.13

Dua orang ilmuwan Amerika, J.P. Ferris dan C.T. Chen, mengulang eksperimen Stanley Miller dengan kondisi atmosfir terdiri dari karbon dioksida, hidrogen, nitrogen dan uap air. Mereka tidak mampu menghasilkan satu pun molekul asam amino.14

FOKUS: SUMBER-SUMBER EVOLUSIONIS MUTAKHIR MEMBANTAH EKSPERIMEN MILLER
Description: 155
Dewasa ini, eksperimen Miller telah menjadi hal yang benar-benar diabaikan bahkan oleh kalangan ilmuwan evolusionis. Majalah sains evolusionis terkemuka Earth edisi Februari 1998 menuliskan hal berikut ini dalam artikel yang berjudul "Life's Crucible":
Kini ahli geologi berpendapat bahwa sebagian besar atmosfir purba terdiri dari karbon dioksida dan nitrogen, gas-gas yang kurang reaktif dibandingkan gas-gas yang digunakan dalam eksperimen tahun 1953. Bahkan, bila atmosfir yang diajukan Miller benar ada, bagaimana anda membuat molekul sederhana seperti asam amino mengalami perubahan kimiawi yang dibutuhkan sehingga berubah menjadi senyawa yang lebih rumit, atau polimer seperti protein? Miller sendiri angkat tangan pada bagian teka-teki ini. "Ini adalah masalah," ia mengeluh dengan gusar. "Bagaimana Anda membuat polimer? Itu bukan hal yang mudah." 1
Kenyataannya, bahkan kini Miller pun telah menerima bahwa percobaannya tidak akan menghasilkan sebuah kesimpulan yang dapat menjelaskan asal usul kehidupan. Bahwa ilmuwan evolusionis sangat mempercayai percobaan ini hanya menunjukkan kesengsaraan evolusi dan keputusasaan para pengajurnya.
Artikel berjudul "The Emergence of Life on Earth" (Kemunculan Kehidupan di Muka Bumi) dalam National Geographic edisi Maret 1998 mengungkapkan hal berikut ini:
Sekarang banyak ilmuwan menduga bahwa atmosfir purba itu berbeda dari yang pertama kali diandaikan Miller. Mereka berpikir bahwa atmosfir tersebut terdiri dari karbon dioksida dan nitrogen, bukan hidrogen, metan dan amoniak.
Ini adalah berita buruk bagi ahli kimia. Ketika mereka mencoba mereaksikan karbon dioksida dan nitrogen, mereka mendapatkan sejumlah molekul organik yang tak berharga - ini sama saja dengan melarutkan setetes pewarna makanan ke dalam air kolam renang. Para ilmuwan menemukan kesulitan besar untuk membayangkan bahwa kehidupan muncul dari sup encer seperti itu.2
Singkatnya, baik eksperimen Miller maupun evolusionis yang lain tidak dapat menjawab pertanyaan bagaimana kehidupan muncul di muka bumi. Semua penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kehidupan tidak mungkin muncul secara kebetulan dan karenanya mempertegas bahwa kehidupan memang diciptakan.
1. Earth, "Life's Crucible", February 1998, p.34
2. National Geographic, "The Rise of Life on Earth", March 1998, p.68

3. Hal penting lain yang mengugurkan eksperimen Miller adalah bahwa atmosfir bumi mengandung cukup banyak oksigen untuk menghancurkan semua asam amino yang terbentuk. Fakta yang diabaikan Miller ini terungkap dari sisa-sisa besi dan uranium yang teroksidasi dalam batuan yang diperkirakan berumur 3,5 miliar tahun.15

Temuan-temuan lain menunjukkan bahwa kandungan oksigen pada saat itu jauh lebih besar daripada yang dinyatakan evolusionis. Penelitian-penelitian juga menunjukkan bahwa pada saat itu bumi teradiasi ultra-violet 10.000 kali lebih besar daripada perkiraan evolusionis. Radiasi ultra-violet yang intens ini membebaskan oksigen dengan cara menguraikan uap air dan karbon dioksida dalam atmosfir.

Situasi ini secara telak membantah eksperimen Miller yang sama sekali mengabaikan oksigen. Jika oksigen digunakan dalam eksperimen tersebut, metan akan terurai menjadi karbon dioksida dan air, dan amonia menjadi nitrogen dan air. Selain itu, dalam lingkungan tanpa oksigen, juga tidak akan ada lapisan ozon. Tanpa perlindungan lapisan ozon, asam-asam amino akan segera hancur oleh sinar ultraviolet yang sangat intens. Dapat dikatakan, dengan atau tanpa oksigen di bumi purba, hasilnya sama, lingkungan yang sangat destruktif bagi asam amino.

4. Pada akhir eksperimen Miller, terbentuk banyak asam organik yang bersifat merusak struktur dan fungsi makhluk hidup. Jika asam amino tidak diisolasi dan tetap berada di dalam lingkungan yang sama dengan senyawa-senyawa ini, reaksi kimia yang terjadi akan menghancurkan atau mengubah asam amino menjadi senyawa lain.

Selain itu, di akhir eksperimen ini terbentuk sejumlah besar asam amino Dextro.16 Keberadaan asam amino ini dengan sendirinya menyangkal teori evolusi, karena asam amino Dextro tidak berfungsi dalam pembentukan sel makhluk hidup. Kesimpulannya, kondisi-kondisi di mana asam amino terbentuk dalam eksperimen Miller, tidak cocok bagi kehidupan. Kenyataannya, medium ini merupakan campuran asam yang meng-hancurkan dan mengoksidasi molekul-molekul berguna yang diperoleh.

Semua fakta ini menunjukkan satu hal yang jelas: eksperimen Miller tidak dapat digunakan sebagai bukti bahwa makhluk hidup terbentuk secara kebetulan dalam kondisi bumi purba. Keseluruhan eksperimen ini tidak lebih dari sebuah eksperimen laboratorium yang terkontrol dan terarah untuk mensintesis asam amino. Jumlah dan jenis gas dalam eksperimen ini secara ideal ditentukan agar asam amino terbentuk. Jumlah energi yang disalurkan ke dalam sistem diatur dengan tepat agar reaksi yang diperlukan terjadi. Peralatan eksperimen diisolasi sehingga tidak terkontaminasi unsur-unsur lain yang berbahaya, destruktif, atau menghalangi pembentukan asam amino. Padahal unsur-unsur seperti ini kemungkinan besar ada dalam kondisi bumi purba. Unsur-unsur, mineral atau senyawa kimia yang ada pada kondisi purba dan berkemungkinan mengubah reaksi tidak dimasukkan dalam eksperimen. Oksigen yang men-cegah pembentukan asam amino dengan oksidasi hanya salah satu dari unsur-unsur destruktif ini. Bahkan dalam kondisi laboratorium ideal, mustahil asam amino yang terbentuk bertahan dan terhindar dari kerusakan tanpa mekanisme cold trap.

Nyatanya, evolusionis sendiri menyangkal teori evolusi, karena yang dibuktikan oleh eksperimen ini adalah: asam amino hanya dapat dihasilkan dalam lingkungan laboratorium terkendali di mana semua kondisi dirancang khusus oleh intervensi yang disengaja. Berarti, kekuatan yang dapat menghasilkan kehidupan sudah pasti bukan peristiwa kebetulan, tetapi penciptaan yang disengaja.

Evolusionis tidak menerima bukti ini karena ketaatan buta mereka ke-pada praduga yang benar-benar tidak ilmiah. Yang menarik, Harold Urey, yang melakukan eksperimen ini bersama mahasiswanya Stanley Miller, membuat pengakuan sebagai berikut:

Kami semua yang mempelajari asal usul kehidupan mendapati bahwa semakin kami mengamati, semakin kami merasa bahwa kehidupan terlalu kompleks untuk berevolusi dari mana pun. Kami semua percaya, sebagai suatu ketaatan, bahwa kehidupan berevolusi dari benda mati di bumi ini. Hanya saja kompleksitasnya begitu besar, sehingga sulit bagi kami membayangkan evolusi kehidupan.17

ATMOSFIR BUMI PURBA DAN PROTEIN

Dengan mengabaikan semua ketidakkonsistenan di atas, evolusionis masih merujuk pada eksperimen Miller untuk menghindari pertanyaan bagaimana asam amino terbentuk dengan sendirinya dalam atmosfir bumi purba. Hingga kini, mereka terus menipu orang dengan berpura-pura bahwa masalahnya telah terpecahkan dengan eksperimen keliru ini.

Namun, untuk menjelaskan tahap kedua asal usul kehidupan, evolusionis menemukan masalah yang jauh lebih besar dari pembentukan asam-asam amino, yaitu "protein". Protein merupakan bahan pembangun kehidupan yang tersusun dari ratusan asam amino berbeda
yang bergabung dalam tatanan tertentu.

Pernyataan bahwa protein terbentuk secara spontan dalam kondisi alamiah lebih tidak realistis dan tidak beralasan dibandingkan dengan pernyataan bahwa asam amino terbentuk secara kebetulan. Pada bahasan sebelumnya, dengan perhitungan probabilitas, telah dibuktikan kemustahilan asam amino bergabung secara acak dalam urutan tertentu untuk membentuk sebuah protein. Sekarang kita akan melihat kemustahilan protein dihasilkan secara kimiawi dalam kondisi bumi purba.

SINTESIS PROTEIN TIDAK MUNGKIN TERJADI DI DALAM AIR

Asam amino berikatan melalui "ikatan peptida" untuk membentuk protein. Dalam pembentukan ikatan ini satu molekul air dilepaskan.

Fakta ini menyanggah penjelasan evolusionis bahwa kehidupan purba berawal di air. Menurut "Prinsip Le Chatelier" dalam kimia, suatu reaksi yang melepaskan air (reaksi kondensasi) tidak mungkin terjadi dalam lingkungan berair (hidrat). Reaksi seperti ini dalam lingkungan berair di-katakan "memiliki probabilitas paling kecil untuk terjadi dibandingkan reaksi-reaksi kimia lain.

Oleh karena itu, lautan yang dinyatakan sebagai tempat kehidupan berawal dan asam-asam amino dihasilkan, bukan lingkungan yang tepat bagi asam amino untuk membentuk protein. Di lain pihak, akan menjadi irasional bila evolusionis mengubah pikiran dan menyatakan bahwa kehidupan berawal di darat, karena satu-satunya lingkungan agar asam amino terlindung dari ultraviolet adalah lautan. Di darat, asam amino akan hancur oleh sinar ultraviolet. Prinsip Le Chatelier membantah pernyataan bahwa kehidupan terbentuk di lautan. Satu lagi dilema bagi teori evolusi.

USAHA NEKAT LAINNYA: EKSPERIMEN FOX

Tertantang oleh dilema di atas, evolusionis mulai membuat skenario yang tidak realistis mengenai "masalah air" yang mutlak meruntuhkan teori mereka. Sydney Fox adalah salah satu ilmuwan terkemuka yang membuat skenario untuk menjawab masalah ini. Menurutnya, asam amino pertama mestilah terbawa ke karang dekat gunung berapi segera setelah terbentuk di dalam laut purba. Air dalam campuran ini pasti telah menguap karena suhu lingkungan mulut kawah meningkat melebihi suhu didih. Selanjutnya, asam-asam amino "kering" ini dapat membentuk protein.

Description: 159m
Dalam eksperimennya, Fox menghasilkan sebuah substansi yang disebut "proteinoid". Proteinoid merupakan kombinasi asam-asam amino yang tersusun secara acak. Tidak seperti protein pada makhluk hidup, proteinoid merupakan bentuk kimiawi yang tidak berguna dan tidak fungsional. Ini adalah gambaran mikroskop dari partikel-proteinoid.

Akan tetapi, penjelasan "rumit" ini tidak disetujui banyak orang karena asam amino tidak dapat bertahan pada suhu setinggi itu. Penelitian telah memastikan bahwa asam amino akan segera hancur pada suhu tinggi.

Fox tidak menyerah begitu saja. Ia menggabungkan asam amino murni di laboratorium "dalam kondisi sangat khusus" dengan cara memanaskannya dalam lingkungan kering. Asam amino memang bergabung, tetapi tidak menghasilkan protein. Yang diperolehnya adalah rantai-rantai asam amino sederhana dan tidak teratur yang tersusun secara acak, dan rantai-rantai ini sama sekali tidak menyerupai protein hidup. Bahkan jika Fox menyimpan asam amino ini pada suhu yang stabil, rantai-rantai tidak berguna ini akan terurai.18

Eksperimen ini juga tidak absah karena asam amino yang digunakan Fox bukan asam amino produk eksperimen Miller, tetapi asam amino murni dari organisme hidup. Padahal eksperimen ini dimaksudkan sebagai lanjutan dari eksperimen Miller, maka seharusnya menggunakan hasil yang telah didapatkan Miller. Namun, baik Fox maupun peneliti lain tidak menggunakannya.19

Eksperimen Fox tidak ditanggapi positif bahkan oleh kalangan evolusionis sendiri, sebab jelas rantai asam amino atau proteinoid yang didapatkannya tidak mungkin terbentuk dalam kondisi alamiah. Selain itu, protein sebagai unit dasar kehidupan, tetap tidak dapat diproduksi. Masalah asal mula protein ini tetap tak terjawab. Sebuah artikel dalam majalah ilmu pengetahuan populer tahun 1970-an, Chemical Engineering News, mengomentari eksperimen Fox sebagai berikut:

Sydney Fox dan peneliti lain berhasil menggabungkan asam amino dalam bentuk "proteinoid" dengan menggunakan teknik pemanasan khusus dalam kondisi yang tidak ada sama sekali pada zaman bumi purba. Hasilnya pun tidak sama dengan protein biasa pada makhluk hidup. Proteinoid hanyalah rangkaian tak beraturan yang tidak berguna. Terungkap bahwa walaupun molekul-molekul seperti ini dapat terbentuk pada masa-masa awal, mereka sudah pasti akan hancur.20

Proteinoid yang didapatkan Fox memang sama sekali berbeda dari protein sesungguhnya, dalam struktur maupun fungsi. Perbedaan antara protein dan "proteinoid" sama besarnya dengan perbedaan antara alat berteknologi tinggi dan setumpuk bahan mentah yang belum diproses.

Lagi pula, rantai asam amino tak beraturan ini tidak memiliki kesempatan untuk bertahan dalam atmosfir purba. Efek fisika serta kimia yang desktruktif dan berbahaya karena sinar ultraviolet yang kuat dan kondisi alam yang tidak stabil akan menguraikan proteinoid. Karena prinsip Le Chatelier, tidak mungkin asam amino bergabung membentuk protein di dalam air, tempat yang tidak terjangkau sinar ultraviolet. Dengan pertimbangan ini, akhirnya banyak ilmuwan menarik dukungan mereka terhadap gagasan tentang proteinoid sebagai dasar kehidupan.

MOLEKUL MENAKJUBKAN: DNA

Pengujian kita pada tingkat molekuler sejauh ini telah menunjukkan bahwa pembentukan asam-asam amino masih menjadi masalah bagi evolusionis. Pembentukan protein pun merupakan misteri tersendiri. Tetapi masalah pada teori evolusi ini tidak terbatas pada asam amino dan protein saja, keduanya hanya permulaan. Lebih jauh lagi, struktur sel yang sem-purna membawa evolusionis kepada kebuntuan, karena sel bukan hanya setumpuk protein yang terbentuk dari asam amino. Sel merupakan mekanisme hidup dengan ratusan sistem yang telah berkembang. Sel ini begitu rumit, sehingga manusia tidak dapat mengungkap misterinya. Jangankan pembentukan sistem yang kompleks, pembentukan unit terkecil dari sel pun tidak dapat diterangkan oleh evolusionis

Description: 163
Semua informasi tentang makhluk hidup tersimpan dalam molekul DNA. Metode penyimpanan informasi yang sangat efisien ini merupakan bukti nyata bahwa kehidupan tidak muncul secara kebetulan, tetapi telah didesain secara sengaja, atau lebih tepat lagi, diciptakan dengan luar biasa.

Sementara teori evolusi tidak dapat memberikan penjelasan logis atas keberadaan molekul-molekul dasar struktur sel, perkembangan di bidang genetika dan penemuan asam nukleat (DNA dan RNA) telah menghasilkan masalah baru bagi teori evolusi. Pada tahun 1955, penelitian James Watson dan Francis Crick terhadap DNA membawa era baru dalam biologi. Banyak ilmuwan mengalihkan perhatian mereka pada ilmu genetika. Sekarang, setelah penelitian bertahun-tahun, struktur DNA terungkap hingga taraf yang sangat jauh.

Molekul yang disebut DNA, yang ditemukan dalam nukleus pada setiap sel dari 100 trilyun sel di dalam tubuh kita, mengandung rancang bangun lengkap untuk tubuh manusia. Informasi mengenai seluruh ciri-ciri seseorang, dari penampilan fisik hingga struktur organ dalam, tercatat dalam DNA dengan sistem pengkodean khusus. Informasi dalam DNA dikode dalam urutan empat basa khusus yang membangun molekul ini. Basa ini dinamakan A, T G, C sesuai dengan huruf awal nama mereka. Seluruh perbedaan struktural antara manusia tergantung pada variasi urutan huruf-huruf ini: semacam bank data yang terdiri dari empat huruf.

Urutan huruf dalam DNA menentukan struktur tubuh manusia hingga bagian terkecil. Selain ciri seperti tinggi, mata, rambut dan warna kulit, DNA dalam sebuah sel mengandung informasi desain dari 206 tulang, 600 otot, jaringan 10.000 otot pendengaran, jaringan 2 juta saraf penglihatan, 100 milyar sel saraf, 130 milyar meter pembuluh darah dan 100 trilyun sel di dalam tubuh. Jika kita menuliskan informasi yang dikode dalam DNA, sama artinya dengan menyusun sebuah perpustakaan raksasa yang terdiri dari 900 volume ensiklopedia yang masing-masing setebal 500 halaman. Informasi yang sangat banyak ini dikode dalam komponen DNA yang disebut "gen".

(Bersambung Ke Bagian D)

Sumber: www.harunyahya.com

0 komentar:

Posting Komentar