KERUNTUHAN TEORI EVOLUSI
(Harun Yahya)
BAB 10 (Bagian C)
EKSPERIMEN MILLER
Tujuan
Stanley Miller adalah mengajukan penemuan eksperimental yang menunjukkan bahwa
asam amino, bahan pembangun protein, dapat muncul "secara kebetulan"
di bumi yang tidak berkehidupan miliaran tahun lalu.
Dalam
eksperimennya, Miller menggunakan campuran gas yang diasumsikan terdapat di
bumi purba (yang kelak terbukti tidak realistis) terdiri dari amonia, metan,
hidrogen dan uap air. Karena dalam kondisi alamiah gas-gas ini tidak saling
bereaksi, Miller memberikan stimulasi energi untuk memulai reaksi antara
gas-gas tersebut. Dengan menganggap energi ini bisa berasal dari kilat dalam
atmosfir purba, ia meng-gunakan sumber penghasil listrik buatan untuk
menyediakan energi tersebut.
Miller
mendidihkan campuran gas ini pada suhu 100°C selama seminggu, dan sebagai
tambahan dia mengalirkan arus listrik. Di akhir minggu, Miller menganalisis
senyawa-senyawa kimia yang terbentuk di dasar gelas percobaan dan menemukan
tiga dari 20 jenis asam amino, bahan dasar protein telah tersintesis.
Eksperimen
ini membangkitkan semangat evolusionis dan dianggap sebagai sukses besar. Dalam
luapan kegembiraan, berbagai terbitan memasang tajuk utama seperti "Miller
menciptakan kehidupan". Akan tetapi, molekul-molekul yang berhasil
disintesis Miller ternyata hanya beberapa molekul "tidak hidup".
Didorong oleh
eksperimen ini, evolusionis segera membuat skenario baru. Hipotesis tahap
lanjutan tentang pembentukan protein segera dirumuskan. Menurut mereka,
asam-asam amino kemudian bergabung dalam urutan yang tepat secara kebetulan
untuk membentuk protein. Sebagian protein-protein yang terbentuk secara
kebetulan ini menempatkan diri mereka dalam struktur seperti membran yang
"entah bagaimana" muncul dan membentuk sel primitif. Sel-sel kemudian
bergabung dan membentuk organisme hidup. Akan tetapi, eksperimen Miller hanya
akal-akalan dan telah terbukti tidak benar dalam segala aspek.
EKSPERIMEN MILLER HANYA AKAL-AKALAN
Eksperimen
Miller berusaha membuktikan bahwa asam amino dapat terbentuk dengan sendirinya
dalam kondisi bumi purba. Namun, eksperimen ini tidak konsisten dalam sejumlah
hal:
1. Dengan
menggunakan mekanisme cold trap, Miller mengisolasi asam-asam amino dari
lingkungannya segera setelah mereka terbentuk. Jika dia tidak melakukannya,
kondisi lingkungan tempat asam amino terbentuk akan segera menghancurkan
molekul ini.
Tentu saja
mekanisme isolasi yang disengaja seperti ini tidak ada dalam kondisi bumi
purba. Tanpa mekanisme seperti ini, kalaupun ada satu asam amino terbentuk, ia
akan segera hancur. Seorang ahli kimia, Richard Bliss, mengungkapkan
kontradiksi ini sebagai berikut: "Benar, tanpa cold trap, senyawa kimia
yang dihasilkan akan dihancurkan oleh aliran listrik."11
Memang, dalam
percobaan sebelumnya dengan bahan-bahan yang sama tetapi tanpa mekanisme cold
trap, Miller tidak dapat membentuk satu pun asam amino.
2.
Lingkungan atmosfir purba yang disimulasikan Miller dalam eksperimennya tidak
realistis. Pada tahun 1980-an, para ilmuwan sepakat bahwa yang seharusnya terdapat
pada lingkungan artifisial tersebut adalah nitrogen dan karbon dioksida,
bukannya metan dan amonia. Setelah bungkam cukup lama, Miller sendiri mengakui
pula bahwa kondisi atmosfir dalam eksperimennya tidak realistis.12
Jadi mengapa
Miller berkeras menggunakan gas-gas ini? Jawabannya sederhana: tanpa amonia,
mustahil mensintesis asam amino. Kevin McKean mengungkapkan hal ini dalam
sebuah artikel yang dimuat dalam majalah Discover:
Miller dan
Urey meniru atmosfir bumi dahulu kala dengan campuran metan dan amonia. Menurut
mereka, bumi merupakan campuran homogen dari logam, batuan dan es. Namun, dalam
penelitian terakhir terungkap bahwa pada saat itu bumi sangat panas dan
terbentuk dari nikel dan besi cair. Jadi, atmosfir kimiawi saat itu seharusnya
didominasi nitrogen (N2), karbon dioksida (CO2) dan uap air (H20). Tetapi
gas-gas ini bukan gas-gas yang tepat untuk mensintesis senyawa organik, seperti
metan dan amonia.13
Dua orang
ilmuwan Amerika, J.P. Ferris dan C.T. Chen, mengulang eksperimen Stanley Miller
dengan kondisi atmosfir terdiri dari karbon dioksida, hidrogen, nitrogen dan
uap air. Mereka tidak mampu menghasilkan satu pun molekul asam amino.14
FOKUS:
SUMBER-SUMBER EVOLUSIONIS MUTAKHIR MEMBANTAH EKSPERIMEN MILLER
Dewasa
ini, eksperimen Miller telah menjadi hal yang benar-benar diabaikan bahkan oleh
kalangan ilmuwan evolusionis. Majalah sains evolusionis terkemuka Earth edisi
Februari 1998 menuliskan hal berikut ini dalam artikel yang berjudul
"Life's Crucible":
Kini
ahli geologi berpendapat bahwa sebagian besar atmosfir purba terdiri dari
karbon dioksida dan nitrogen, gas-gas yang kurang reaktif dibandingkan gas-gas
yang digunakan dalam eksperimen tahun 1953. Bahkan, bila atmosfir yang diajukan
Miller benar ada, bagaimana anda membuat molekul sederhana seperti asam amino
mengalami perubahan kimiawi yang dibutuhkan sehingga berubah menjadi senyawa
yang lebih rumit, atau polimer seperti protein? Miller sendiri angkat tangan pada
bagian teka-teki ini. "Ini adalah masalah," ia mengeluh dengan gusar.
"Bagaimana Anda membuat polimer? Itu bukan hal yang mudah." 1
Kenyataannya,
bahkan kini Miller pun telah menerima bahwa percobaannya tidak akan
menghasilkan sebuah kesimpulan yang dapat menjelaskan asal usul kehidupan.
Bahwa ilmuwan evolusionis sangat mempercayai percobaan ini hanya menunjukkan
kesengsaraan evolusi dan keputusasaan para pengajurnya.
Artikel
berjudul "The Emergence of Life on Earth" (Kemunculan Kehidupan di
Muka Bumi) dalam National Geographic edisi Maret 1998 mengungkapkan hal berikut
ini:
Sekarang
banyak ilmuwan menduga bahwa atmosfir purba itu berbeda dari yang pertama kali
diandaikan Miller. Mereka berpikir bahwa atmosfir tersebut terdiri dari karbon
dioksida dan nitrogen, bukan hidrogen, metan dan amoniak.
Ini
adalah berita buruk bagi ahli kimia. Ketika mereka mencoba mereaksikan karbon
dioksida dan nitrogen, mereka mendapatkan sejumlah molekul organik yang tak
berharga - ini sama saja dengan melarutkan setetes pewarna makanan ke dalam air
kolam renang. Para ilmuwan menemukan kesulitan besar untuk membayangkan bahwa
kehidupan muncul dari sup encer seperti itu.2
Singkatnya,
baik eksperimen Miller maupun evolusionis yang lain tidak dapat menjawab
pertanyaan bagaimana kehidupan muncul di muka bumi. Semua penelitian yang telah
dilakukan menunjukkan bahwa kehidupan tidak mungkin muncul secara kebetulan dan
karenanya mempertegas bahwa kehidupan memang diciptakan.
1. Earth, "Life's Crucible", February 1998, p.34
2. National Geographic, "The Rise of Life on Earth", March 1998,
p.68
3. Hal
penting lain yang mengugurkan eksperimen Miller adalah bahwa atmosfir bumi
mengandung cukup banyak oksigen untuk menghancurkan semua asam amino yang
terbentuk. Fakta yang diabaikan Miller ini terungkap dari sisa-sisa besi
dan uranium yang teroksidasi dalam batuan yang diperkirakan berumur 3,5 miliar
tahun.15
Temuan-temuan
lain menunjukkan bahwa kandungan oksigen pada saat itu jauh lebih besar
daripada yang dinyatakan evolusionis. Penelitian-penelitian juga menunjukkan
bahwa pada saat itu bumi teradiasi ultra-violet 10.000 kali lebih besar
daripada perkiraan evolusionis. Radiasi ultra-violet yang intens ini
membebaskan oksigen dengan cara menguraikan uap air dan karbon dioksida dalam
atmosfir.
Situasi ini
secara telak membantah eksperimen Miller yang sama sekali mengabaikan oksigen.
Jika oksigen digunakan dalam eksperimen tersebut, metan akan terurai menjadi
karbon dioksida dan air, dan amonia menjadi nitrogen dan air. Selain itu, dalam
lingkungan tanpa oksigen, juga tidak akan ada lapisan ozon. Tanpa perlindungan
lapisan ozon, asam-asam amino akan segera hancur oleh sinar ultraviolet yang
sangat intens. Dapat dikatakan, dengan atau tanpa oksigen di bumi purba,
hasilnya sama, lingkungan yang sangat destruktif bagi asam amino.
4. Pada akhir
eksperimen Miller, terbentuk banyak asam organik yang bersifat merusak struktur
dan fungsi makhluk hidup. Jika asam amino tidak diisolasi dan tetap berada di
dalam lingkungan yang sama dengan senyawa-senyawa ini, reaksi kimia yang
terjadi akan menghancurkan atau mengubah asam amino menjadi senyawa lain.
Selain itu,
di akhir eksperimen ini terbentuk sejumlah besar asam amino Dextro.16
Keberadaan asam amino ini dengan sendirinya menyangkal teori evolusi, karena
asam amino Dextro tidak berfungsi dalam pembentukan sel makhluk hidup.
Kesimpulannya, kondisi-kondisi di mana asam amino terbentuk dalam eksperimen
Miller, tidak cocok bagi kehidupan. Kenyataannya, medium ini merupakan campuran
asam yang meng-hancurkan dan mengoksidasi molekul-molekul berguna yang
diperoleh.
Semua fakta
ini menunjukkan satu hal yang jelas: eksperimen Miller tidak dapat digunakan
sebagai bukti bahwa makhluk hidup terbentuk secara kebetulan dalam kondisi bumi
purba. Keseluruhan eksperimen ini tidak lebih dari sebuah eksperimen
laboratorium yang terkontrol dan terarah untuk mensintesis asam amino. Jumlah
dan jenis gas dalam eksperimen ini secara ideal ditentukan agar asam amino
terbentuk. Jumlah energi yang disalurkan ke dalam sistem diatur dengan tepat
agar reaksi yang diperlukan terjadi. Peralatan eksperimen diisolasi sehingga
tidak terkontaminasi unsur-unsur lain yang berbahaya, destruktif, atau
menghalangi pembentukan asam amino. Padahal unsur-unsur seperti ini kemungkinan
besar ada dalam kondisi bumi purba. Unsur-unsur, mineral atau senyawa kimia
yang ada pada kondisi purba dan berkemungkinan mengubah reaksi tidak dimasukkan
dalam eksperimen. Oksigen yang men-cegah pembentukan asam amino dengan oksidasi
hanya salah satu dari unsur-unsur destruktif ini. Bahkan dalam kondisi
laboratorium ideal, mustahil asam amino yang terbentuk bertahan dan terhindar
dari kerusakan tanpa mekanisme cold trap.
Nyatanya,
evolusionis sendiri menyangkal teori evolusi, karena yang dibuktikan oleh
eksperimen ini adalah: asam amino hanya dapat dihasilkan dalam lingkungan
laboratorium terkendali di mana semua kondisi dirancang khusus oleh intervensi
yang disengaja. Berarti, kekuatan yang dapat menghasilkan kehidupan sudah pasti
bukan peristiwa kebetulan, tetapi penciptaan yang disengaja.
Evolusionis
tidak menerima bukti ini karena ketaatan buta mereka ke-pada praduga yang
benar-benar tidak ilmiah. Yang menarik, Harold Urey, yang melakukan
eksperimen ini bersama mahasiswanya Stanley Miller, membuat pengakuan sebagai
berikut:
Kami semua
yang mempelajari asal usul kehidupan mendapati bahwa semakin kami mengamati, semakin
kami merasa bahwa kehidupan terlalu kompleks untuk berevolusi dari mana pun.
Kami semua percaya, sebagai suatu ketaatan, bahwa kehidupan berevolusi dari
benda mati di bumi ini. Hanya saja kompleksitasnya begitu besar, sehingga sulit
bagi kami membayangkan evolusi kehidupan.17
ATMOSFIR BUMI PURBA DAN PROTEIN
Dengan
mengabaikan semua ketidakkonsistenan di atas, evolusionis masih merujuk pada eksperimen
Miller untuk menghindari pertanyaan bagaimana asam amino terbentuk dengan
sendirinya dalam atmosfir bumi purba. Hingga kini, mereka terus menipu orang
dengan berpura-pura bahwa masalahnya telah terpecahkan dengan eksperimen keliru
ini.
Namun, untuk
menjelaskan tahap kedua asal usul kehidupan, evolusionis menemukan masalah yang
jauh lebih besar dari pembentukan asam-asam amino, yaitu "protein".
Protein merupakan bahan pembangun kehidupan yang tersusun dari ratusan asam
amino berbeda
yang bergabung
dalam tatanan tertentu.
Pernyataan
bahwa protein terbentuk secara spontan dalam kondisi alamiah lebih tidak
realistis dan tidak beralasan dibandingkan dengan pernyataan bahwa asam amino
terbentuk secara kebetulan. Pada bahasan sebelumnya, dengan perhitungan
probabilitas, telah dibuktikan kemustahilan asam amino bergabung secara acak
dalam urutan tertentu untuk membentuk sebuah protein. Sekarang kita akan
melihat kemustahilan protein dihasilkan secara kimiawi dalam kondisi bumi
purba.
SINTESIS PROTEIN TIDAK MUNGKIN TERJADI DI DALAM AIR
Asam amino
berikatan melalui "ikatan peptida" untuk membentuk protein. Dalam
pembentukan ikatan ini satu molekul air dilepaskan.
Fakta ini
menyanggah penjelasan evolusionis bahwa kehidupan purba berawal di air. Menurut
"Prinsip Le Chatelier" dalam kimia, suatu reaksi yang
melepaskan air (reaksi kondensasi) tidak mungkin terjadi dalam lingkungan
berair (hidrat). Reaksi seperti ini dalam lingkungan berair di-katakan
"memiliki probabilitas paling kecil untuk terjadi dibandingkan
reaksi-reaksi kimia lain.
Oleh karena
itu, lautan yang dinyatakan sebagai tempat kehidupan berawal dan asam-asam
amino dihasilkan, bukan lingkungan yang tepat bagi asam amino untuk membentuk
protein. Di lain pihak, akan menjadi irasional bila evolusionis mengubah
pikiran dan menyatakan bahwa kehidupan berawal di darat, karena satu-satunya
lingkungan agar asam amino terlindung dari ultraviolet adalah lautan. Di darat,
asam amino akan hancur oleh sinar ultraviolet. Prinsip Le Chatelier membantah
pernyataan bahwa kehidupan terbentuk di lautan. Satu lagi dilema bagi teori
evolusi.
USAHA NEKAT LAINNYA: EKSPERIMEN FOX
Tertantang
oleh dilema di atas, evolusionis mulai membuat skenario yang tidak realistis
mengenai "masalah air" yang mutlak meruntuhkan teori mereka. Sydney
Fox adalah salah satu ilmuwan terkemuka yang membuat skenario untuk menjawab
masalah ini. Menurutnya, asam amino pertama mestilah terbawa ke karang dekat
gunung berapi segera setelah terbentuk di dalam laut purba. Air dalam campuran ini
pasti telah menguap karena suhu lingkungan mulut kawah meningkat melebihi suhu
didih. Selanjutnya, asam-asam amino "kering" ini dapat membentuk
protein.
Dalam
eksperimennya, Fox menghasilkan sebuah substansi yang disebut
"proteinoid". Proteinoid merupakan kombinasi asam-asam amino yang
tersusun secara acak. Tidak seperti protein pada makhluk hidup, proteinoid
merupakan bentuk kimiawi yang tidak berguna dan tidak fungsional. Ini adalah
gambaran mikroskop dari partikel-proteinoid.
Akan tetapi,
penjelasan "rumit" ini tidak disetujui banyak orang karena asam amino
tidak dapat bertahan pada suhu setinggi itu. Penelitian telah memastikan bahwa
asam amino akan segera hancur pada suhu tinggi.
Fox tidak
menyerah begitu saja. Ia menggabungkan asam amino murni di laboratorium
"dalam kondisi sangat khusus" dengan cara memanaskannya dalam
lingkungan kering. Asam amino memang bergabung, tetapi tidak menghasilkan
protein. Yang diperolehnya adalah rantai-rantai asam amino sederhana dan tidak
teratur yang tersusun secara acak, dan rantai-rantai ini sama sekali tidak
menyerupai protein hidup. Bahkan jika Fox menyimpan asam amino ini pada suhu
yang stabil, rantai-rantai tidak berguna ini akan terurai.18
Eksperimen
ini juga tidak absah karena asam amino yang digunakan Fox bukan asam amino
produk eksperimen Miller, tetapi asam amino murni dari organisme hidup. Padahal
eksperimen ini dimaksudkan sebagai lanjutan dari eksperimen Miller, maka
seharusnya menggunakan hasil yang telah didapatkan Miller. Namun, baik Fox
maupun peneliti lain tidak menggunakannya.19
Eksperimen
Fox tidak ditanggapi positif bahkan oleh kalangan evolusionis sendiri, sebab
jelas rantai asam amino atau proteinoid yang didapatkannya tidak mungkin
terbentuk dalam kondisi alamiah. Selain itu, protein sebagai unit dasar
kehidupan, tetap tidak dapat diproduksi. Masalah asal mula protein ini tetap
tak terjawab. Sebuah artikel dalam majalah ilmu pengetahuan populer tahun
1970-an, Chemical Engineering News, mengomentari eksperimen Fox sebagai
berikut:
Sydney Fox
dan peneliti lain berhasil menggabungkan asam amino dalam bentuk
"proteinoid" dengan menggunakan teknik pemanasan khusus dalam kondisi
yang tidak ada sama sekali pada zaman bumi purba. Hasilnya pun tidak sama
dengan protein biasa pada makhluk hidup. Proteinoid hanyalah rangkaian tak
beraturan yang tidak berguna. Terungkap bahwa walaupun molekul-molekul seperti
ini dapat terbentuk pada masa-masa awal, mereka sudah pasti akan hancur.20
Proteinoid
yang didapatkan Fox memang sama sekali berbeda dari protein sesungguhnya, dalam
struktur maupun fungsi. Perbedaan antara protein dan "proteinoid"
sama besarnya dengan perbedaan antara alat berteknologi tinggi dan setumpuk
bahan mentah yang belum diproses.
Lagi pula,
rantai asam amino tak beraturan ini tidak memiliki kesempatan untuk bertahan
dalam atmosfir purba. Efek fisika serta kimia yang desktruktif dan berbahaya
karena sinar ultraviolet yang kuat dan kondisi alam yang tidak stabil akan
menguraikan proteinoid. Karena prinsip Le Chatelier, tidak mungkin asam amino
bergabung membentuk protein di dalam air, tempat yang tidak terjangkau sinar
ultraviolet. Dengan pertimbangan ini, akhirnya banyak ilmuwan menarik dukungan
mereka terhadap gagasan tentang proteinoid sebagai dasar kehidupan.
MOLEKUL MENAKJUBKAN: DNA
Pengujian
kita pada tingkat molekuler sejauh ini telah menunjukkan bahwa pembentukan
asam-asam amino masih menjadi masalah bagi evolusionis. Pembentukan protein pun
merupakan misteri tersendiri. Tetapi masalah pada teori evolusi ini tidak
terbatas pada asam amino dan protein saja, keduanya hanya permulaan. Lebih jauh
lagi, struktur sel yang sem-purna membawa evolusionis kepada kebuntuan, karena
sel bukan hanya setumpuk protein yang terbentuk dari asam amino. Sel merupakan
mekanisme hidup dengan ratusan sistem yang telah berkembang. Sel ini begitu
rumit, sehingga manusia tidak dapat mengungkap misterinya. Jangankan
pembentukan sistem yang kompleks, pembentukan unit terkecil dari sel pun
tidak dapat diterangkan oleh evolusionis
Semua
informasi tentang makhluk hidup tersimpan dalam molekul DNA. Metode penyimpanan
informasi yang sangat efisien ini merupakan bukti nyata bahwa kehidupan tidak
muncul secara kebetulan, tetapi telah didesain secara sengaja, atau lebih tepat
lagi, diciptakan dengan luar biasa.
Sementara
teori evolusi tidak dapat memberikan penjelasan logis atas keberadaan
molekul-molekul dasar struktur sel, perkembangan di bidang genetika dan
penemuan asam nukleat (DNA dan RNA) telah menghasilkan masalah baru bagi teori
evolusi. Pada tahun 1955, penelitian James Watson dan Francis Crick terhadap
DNA membawa era baru dalam biologi. Banyak ilmuwan mengalihkan perhatian mereka
pada ilmu genetika. Sekarang, setelah penelitian bertahun-tahun, struktur DNA
terungkap hingga taraf yang sangat jauh.
Molekul yang
disebut DNA, yang ditemukan dalam nukleus pada setiap sel dari 100 trilyun sel
di dalam tubuh kita, mengandung rancang bangun lengkap untuk tubuh manusia.
Informasi mengenai seluruh ciri-ciri seseorang, dari penampilan fisik hingga
struktur organ dalam, tercatat dalam DNA dengan sistem pengkodean khusus.
Informasi dalam DNA dikode dalam urutan empat basa khusus yang membangun
molekul ini. Basa ini dinamakan A, T G, C sesuai dengan huruf awal nama mereka.
Seluruh perbedaan struktural antara manusia tergantung pada variasi urutan
huruf-huruf ini: semacam bank data yang terdiri dari empat huruf.
Urutan huruf
dalam DNA menentukan struktur tubuh manusia hingga bagian terkecil. Selain ciri
seperti tinggi, mata, rambut dan warna kulit, DNA dalam sebuah sel mengandung
informasi desain dari 206 tulang, 600 otot, jaringan 10.000 otot pendengaran,
jaringan 2 juta saraf penglihatan, 100 milyar sel saraf, 130 milyar meter
pembuluh darah dan 100 trilyun sel di dalam tubuh. Jika kita menuliskan
informasi yang dikode dalam DNA, sama artinya dengan menyusun sebuah
perpustakaan raksasa yang terdiri dari 900 volume ensiklopedia yang
masing-masing setebal 500 halaman. Informasi yang sangat banyak ini dikode
dalam komponen DNA yang disebut "gen".
(Bersambung Ke Bagian D)
Sumber: www.harunyahya.com
0 komentar:
Posting Komentar