KERUNTUHAN TEORI EVOLUSI
(Harun Yahya)
BAB 14
TEORI EVOLUSI: KEWAJIBAN MATERIALISTIS
Informasi
yang telah disampaikan sejauh ini menunjukkan bahwa teori evolusi tidak
memiliki dasar ilmiah; dan sebaliknya, pernyataan-pernyataan evolusi
bertentangan dengan temuan-temuan ilmiah. Dengan kata lain, kekuatan yang
menyokong evolusi bukanlah ilmu pengetahuan. Evolusi memang dibela oleh
beberapa "ilmuwan", tetapi pasti ada kekuatan lain yang berperan.
Kekuatan ini adalah filsafat materialis.
filsafat
materialis merupakan salah satu sistem pemikiran tertua dalam sejarah manusia.
Karakteristiknya yang paling mendasar adalah anggapan bahwa materi itu absolut.
Menurut filsafat ini, materi tidak terbatas (infinite), dan segala sesuatu
terdiri dari materi, dan hanya materi. Pendekatan ini menutup kemungkinan
terhadap kepercayaan kepada Pencipta. Oleh sebab itu, materialisme sejak lama
memusuhi agama-agama yang memiliki keyakinan terhadap Allah.
Jadi,
pertanyaannya sekarang: apakah cara pandang materialis itu benar? Untuk
mengujinya, kita harus menyelidiki pernyataan-pernyataan filsafat tersebut yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan, dengan menggunakan metode-metode ilmiah.
Misalnya, seorang filsuf abad ke-10 dapat mengatakan bahwa ada pohon keramat di
permukaan bulan, dan semua makhluk hidup tumbuh seperti buah pada
cabang-cabangnya lalu jatuh ke bumi. Sebagian orang mungkin menganggap filsafat
ini menarik dan mempercayainya. Namun pada abad ke-20, ketika manusia telah
sampai ke bulan, filsafat semacam ini tidak mungkin dikemukakan. Ada atau
tidaknya pohon semacam itu di sana dapat ditentukan dengan metode-metode
ilmiah, yaitu dengan pengamatan dan eksperimen.
Dengan metode
ilmiah, kita dapat menyelidiki pernyataan materialis bahwa materi itu abadi,
dan materi ini dapat mengorganisir diri tanpa memerlukan Pencipta serta mampu
memunculkan kehidupan. Namun sejak awal, kita melihat bahwa materialisme telah
runtuh karena gagasan ten-tang kekekalan materi telah dihancurkan oleh teori
Dentuman Besar (Big Bang), yang menunjukkan bahwa jagat raya diciptakan dari
ketiadaan. Pernyataan bahwa materi dapat mengorganisir diri dan memunculkan
kehidupan adalah pernyataan "teori evolusi" - teori yang telah
dibahas oleh buku ini dan ditunjukkan keruntuhannya.
Akan tetapi,
jika seseorang berkeras mempercayai materialisme dan mendahulukan kesetiaan
pada paham ini daripada hal-hal lainnya, maka ia tidak akan menggunakan metode
ilmiah. Jika orang tersebut "mendahulukan materialismenya daripada
keilmuwanannya", maka ia tidak akan meninggalkan materialisme sekali
pun tahu bahwa konsep evolusi tidak diakui ilmu pengetahuan. Sebaliknya, ia
berusaha menegakkan dan menyelamatkan paham ini dengan mendukung konsep evolusi
apa pun yang terjadi. Inilah keadaan sulit yang dihadapi evolusionis.
Yang menarik,
ternyata mereka pun mengakui fakta ini dari waktu ke waktu. Ahli genetika
evolusionis terkenal dari Universitas Harvard, Richard C. Lewontin, mengakui
bahwa dia "materialis dulu baru ilmuwan" dengan kata-kata berikut:
Bukan metode
dan penemuan-penemuan ilmiah yang mendorong kami menerima penjelasan material
tentang dunia yang fenomenal ini. Sebaliknya, kami dipaksa oleh keyakinan
apriori kami terhadap prinsip-prinsip material untuk menciptakan perangkat
penyelidikan dan serangkaian konsep yang menghasilkan penjelasan material,
betapa pun bertentangan dengan intuisi, atau membingungkan orang-orang yang
tidak berpengetahuan. Lagi-pula, materialisme itu absolut, jadi kami tidak
bisa membiarkan Kaki Tuhan masuk.1
Istilah
"apriori" yang digunakan Lewontin ini sangat penting. Istilah
filosofis ini merujuk pada praduga tanpa dasar pengetahuan eksperimental.
Sebuah pemikiran dikatakan "apriori" jika Anda menganggapnya benar
dan menerimanya, meskipun tidak ada informasi tentang kebenaran pemikiran
tersebut. Seperti yang diungkapkan Lewontin secara jujur, materialisme adalah
sebuah "apriori" yang memang disediakan bagi evolusionis dan mereka
mencoba menyesuaikan ilmu pengetahuan dengannya. Karena materialisme
mengharuskan pengingkaran akan keberadaan Pencipta, mereka memilih satu-satunya
alternatif yang mereka miliki, yaitu teori evolusi. Mereka tidak peduli jika
evolusi telah menyimpang dari fakta-fakta ilmiah. Ilmuwan seperti mereka telah
menerima "apriori" sebagai kebenaran.
Sikap
berprasangka ini membawa evolusionis kepada keyakinan bah-wa "materi yang
tak berkesadaran telah membentuk diri sendiri", yang bertentangan dengan
ilmu pengetahuan juga akal sehat. Profesor kimia yang juga pakar DNA dari
Universitas New York, Robert Shapiro, seperti telah dikutip sebelumnya,
menjelaskan keyakinan evolusionis dan dogma materialis ini sebagai berikut:
Maka
diperlukan prinsip evolusi lain untuk menjembatani antara campuran-campuran
kimia alami sederhana dengan replikator efektif pertama. Prinsip ini belum
dijelaskan secara teperinci ataupun didemonstrasikan, namun telah diantisipasi
dan diberi nama evolusi kimia dan pengorganisasian materi secara mandiri.
Keberadaan prinsip ini diterima sebagai keyakinan dalam filsafat
materialisme dialektis, sebagaimana diterapkan pada asal-usul kehidupan
oleh Alexander Oparin.2
Propaganda
evolusionis yang selalu kita temui dalam media terkemuka di Barat serta
majalah-majalah ilmu pengetahuan terkenal dan bergengsi, muncul dari keharusan
ideologis ini. Karena dirasa sangat diperlukan, evolusi dikeramatkan oleh
kalangan yang menetapkan standar-standar ilmu pengetahuan.
Demi
menjaga reputasi, beberapa ilmuwan terpaksa mempertahankan teori yang
berlebihan ini, atau setidaknya berusaha untuk tidak mengatakan apa pun yang
bertentangan dengannya. Akademisi di negara-negara Barat diharuskan menerbitkan
artikel mereka di majalah-majalah ilmu pengetahuan tertentu untuk mendapatkan
dan mempertahankan posisi "keprofesoran". Semua majalah yang
berhubungan dengan biologi dikendalikan oleh evolusionis, dan mereka tidak
mengizinkan artikel anti evolusi muncul di majalah mereka. Karenanya, setiap
ahli biologi harus melakukan studinya di bawah dominasi teori evolusi. Mereka
juga bagian dari tatanan mapan yang memandang evolusi sebagai keharusan
ideologis. Itulah sebabnya mereka secara buta membela "kebetulan-kebetulan
mustahil" yang telah kita bicarakan sejauh ini.
PENGAKUAN-PENGAKUAN MATERIALIS
Pernyataan
ahli biologi evolusionis terkenal dari Jerman, Hoimar Von Dithfurt, merupakan
contoh nyata pemahaman materialis yang fanatik. Setelah mengutarakan contoh
susunan kehidupan yang sangat kompleks, selanjutnya ia mengungkapkan
kemungkinan kehidupan muncul secara kebetulan:
Mungkinkah
keserasian seperti itu terjadi secara kebetulan? Inilah pertanyaan mendasar
dari keseluruhan evolusi biologis. Menjawabnya dengan "Ya, mungkin"
berarti membuktikan kesetiaan pada ilmu alam modern. Secara kritis dapat
dikatakan, mereka yang menerima ilmu alam modern tidak punya pilihan selain
mengatakan "ya", karena dengan ini dia akan dapat menjelas-kan
fenomena alam melalui cara-cara yang mudah dipahami dan merujuk pada
hukum-hukum alam tanpa menyertakan campur tangan metafisis. Bagaimanapun,
menjelaskan segala sesuatu dengan hukum alam, yakni konsep kebetulan, merupakan
pertanda bahwa tidak ada lagi jalan baginya. Karena, apa yang dapat
dilakukannya selain mempercayai konsep kebetulan? 3
DARWINISME
DAN MATERIALISME
Walau
nyata-nyata ditolak ilmu pengetahuan, teori Darwin masih dipertahankan.
Satu-satunya alasan untuk ini adalah hubungan erat antara teori ini dengan
materialisme. Darwin menerapkan filsafat materialis pada ilmu alam. Pendukung
filsafat ini, terutama penganut Marxisme, terus-menerus membela Darwinisme
tidak peduli apa pun yang terjadi.
Pembela
teori evolusi terkenal dewasa ini, ahli biologi Douglas Futuyma, menuliskan:
"Bersamaan de-ngan teori sejarah materialistis Marx... teori evolusi
Darwin merupakan penopang mekanisme dan materialisme." Inilah pengakuan
yang sangat jelas mengapa teori evolusi begitu penting bagi para pembelanya.1
Evolusionis
terkenal lainnya, ahli paleontologi Stephen J Gould mengatakan: "Darwin
menerapkan filsafat materialisme yang konsisten pada interpretasi-nya tentang
alam".2 Leon Trotsky, salah satu pencetus Revolusi Komunis Rusia bersama
Lenin, berkomentar: "Penemuan Darwin merupakan kemenangan terbesar konsep
dialektika dalam keseluruhan bidang materi organik."3 Namun, ilmu
pengetahuan telah menunjukkan bahwa Darwinisme bukan kemenangan bagi
materialisme, melainkan pertanda keruntuhan filsafat tersebut.
TROTZKI DARWIN MARX
1.
Douglas Futuyma, Evolutionary Biology, edisi ke-2. Sunderland, MA: Sinauer,
1986. hal. 3.
2
Alan Woods dan Ted Grant, "Marxism and Darwinism", Reason in Revolt:
Marxism and Modern Science, London, 1993.
3
Alan Woods dan Ted Grant. "Marxism and Darwinism", London, 1993.
Memang,
seperti yang dikatakan Dithfurt, penyangkalan "campur tangan
supranatural" dipilih sebagai prinsip dasar pendekatan ilmiah materialis
untuk menjelaskan kehidupan. Begitu prinsip ini dipilih, kemungkinan paling
mustahil pun dapat diterima. Contoh-contoh mentalitas dogmatis ini dapat kita
temui dalam semua literatur evolusionis. Pendukung teori evolusi terkenal dari
Turki, Profesor Ali Demirsoy, hanyalah salah satu dari mereka. Seperti
dijelaskan pada bagian terdahulu, menurut Demirsoy: probabilitas pembentukan
secara kebetulan Sitokrom-C, protein penting untuk kelanjutan hidup, adalah "sama
dengan kemungkinan seekor monyet menulis sejarah manusia dengan mesin tik tanpa
membuat kesalahan sedikit pun".4
Tidak
diragukan lagi, menyetujui kemungkinan semacam itu bertentangan dengan
prinsip-prinsip dasar nalar dan akal sehat. Satu huruf saja di atas kertas
sudah pasti ditulis manusia, apalagi buku sejarah dunia. Tak ada orang waras
yang akan setuju bahwa huruf-huruf dalam buku tebal tersebut tersusun
"secara kebetulan".
Akan tetapi,
sangat menarik untuk mengetahui bagaimana "ilmuwan evolusionis"
seperti Profesor Ali Dermisoy menerima pernyataan tidak masuk akal semacam ini:
Pada
dasarnya, kemungkinan pembentukan rangkaian sitokrom-C mendekati nol. Jadi,
jika kehidupan memerlukan sebuah rangkaian, dapat dikatakan bahwa
probabilitasnya kejadiannya hanya satu kali di seluruh alam semesta. Lebih dari
itu, suatu kekuatan metafisis di luar definisi kita pasti telah
melakukan pembentukan tersebut. Menerima pernyataan terakhir berarti tidak
sesuai dengan tujuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu kita harus
meng-ambil hipotesis pertama. 5
Selanjutnya
Demirsoy menyatakan bahwa ia menerima kemustahilan ini agar "tidak usah
menerima kekuatan-kekuatan metafisis", artinya agar tidak mengakui
penciptaan oleh Allah. Sangat jelas, pendekatan seperti ini tidak memiliki
hubungan apa pun dengan ilmu pengetahuan. Karenanya tidak mengherankan jika
saat Demirsoy berbicara mengenai asal usul mitokondria dalam sel, ia mengakui
secara terbuka bahwa ia menerima penjelasan konsep kebetulan ini meskipun
sebenarnya "sangat bertentangan dengan pemikiran ilmiah".
Inti
permasalahannya adalah bagaimana mitokondria mendapatkan sifat ini, karena
untuk mendapatkannya secara kebetulan, bahkan oleh satu individu pun,
memerlukan probabilitas yang sulit diterima akal.... Sebagai alat respirasi dan
katalis pada setiap langkah dalam bentuk berbeda, enzim ini membentuk inti dari
mekanisme. Sebuah sel harus mengandung rangkaian enzim ini secara lengkap. Jika
tidak, sel tersebut tidak akan berarti. Di sini, meskipun bertentangan
dengan pemikiran biologis, untuk menghindari penjelasan yang lebih dogmatis
atau spekulasi, mau tidak mau kita harus menerima bahwa semua enzim respirasi
telah tersedia lengkap di dalam sel sebelum sel pertama menggunakan
oksigen.6
Dari
pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa evolusi sama sekali bukan teori yang
dihasilkan melalui penelitian ilmiah. Sebaliknya, bentuk dan substansi teori
ini ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan filsafat materialistis. Selanjutnya
teori ini menjadi kepercayaan atau dogma, walau-pun bertentangan dengan
fakta-fakta ilmiah konkret. Lagi-lagi kita dapat melihat dengan jelas dari
literatur evolusionis bahwa semua usaha ini benar-benar memiliki
"tujuan". Tujuannya adalah menghalangi setiap kepercayaan bahwa semua
makhluk hidup diciptakan oleh Sang Pencipta.
Oleh
evolusionis tujuan ini didefinisikan sebagai "ilmiah". Namun,
rujukannya bukan ilmu pengetahuan melainkan filsafat materialis. Materialisme
secara mutlak menolak keberadaan apa pun "di luar" materi (atau apa
pun yang supranatural). Ilmu pengetahuan sendiri tidak diharuskan menerima
dogma semacam itu. Ilmu pengetahuan berarti menyelidiki alam dan membuat
kesimpulan-kesimpulan berdasarkan apa-apa yang ditemukan. Jika
penemuan-penemuan ini menyimpulkan bahwa alam ini diciptakan, ilmu pengetahuan
harus menerimanya. Demikianlah tugas seorang ilmuwan sejati; dan bukan
mempertahankan skenario mustahil dengan berpegang teguh pada dogma-dogma
materialis kuno abad ke-19.
MATERIALIS, AGAMA PALSU DAN AGAMA SEJATI
Sejauh ini,
kita telah membahas bagaimana kelompok yang setia kepada filsafat materialis mengacaukan
ilmu pengetahuan, menipu orang un-tuk kepentingan dongeng evolusionis yang
mereka yakini secara buta, dan bagaimana mereka menutupi kenyataan. Namun di
samping itu, kita juga harus mengakui bahwa kelompok materialis ini memberikan
"layanan" berarti, walaupun tanpa disengaja.
Mereka
melakukan "layanan" ini dalam usaha membenarkan pemikiran-pemikiran
mereka yang menyimpang dan ateis, dengan cara memaparkan semua kejanggalan dan
ketidakkonsistenan tradisionalis dan pemikiran fanatik yang mengatasnamakan
Islam. Serangan-serangan kelompok ateis-materialis membantu mengungkap agama
palsu yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan Al Quran atau Islam. Agama
palsu ini biasanya berdasarkan pada kabar angin, takhayul, dan omong kosong,
dan tidak memiliki argumen konsisten untuk dikemukakan. Agama palsu ini dibela
oleh kelompok-kelompok yang tidak memiliki kesungguhan dalam keyakinannya dan
dengan seenaknya bertindak atas nama Islam tanpa bukti-bukti yang benar. Berkat
kelompok ateis-materialis, ketidakkonsistenan, penyimpangan dan ketidaklogisan
agama palsu terungkap.
Jadi,
materialis membantu masyarakat menyadari kesuraman mentalitas tradisional
fanatik, dan mendorong mereka mencari inti dan sumber agama sesungguhnya dengan
merujuk dan mematuhi Al Quran. Tanpa sengaja, mereka mematuhi perintah Allah
dan menegakkan agama-Nya. Lebih jauh lagi, mereka menyingkapkan semua
kekerdilan mentalitas yang mendirikan agama palsu atas nama Allah dan
menawarkannya sebagai Islam kepada semua orang. Mereka juga membantu melemahkan
gerakan sistem fanatik yang mengancam masyarakat luas.
FOKUS
: KEMATIAN MATERIALISME
Materialisme
abad ke-19 menyatakan bahwa keberadaan alam semesta tidak berawal dan tidak
diciptakan, dan dunia organik dapat dijelaskan sebagai interaksi antar materi.
Inilah yang men-jadi dasar pijakan teori evolusi. Namun, penemuan-penemuan
ilmiah abad ke-20 jelas-jelas menggugurkan hipotesis ini.
Anggapan
bahwa keberadaan alam semesta tidak berawal, telah dipupus habis oleh temuan
bahwa alam semesta dimulai dengan sebuah ledakan besar (peristiwa yang disebut
"Big Bang") yang terjadi sekitar 15 miliar tahun yang lalu. Teori ini
menunjukkan bahwa semua materi fisik di alam semesta muncul dari ketiadaan:
dengan kata lain, diciptakan. Salah seorang filsuf ateis pembela utama
materialisme, Anthony Flew, mengakui:
Banyak
orang mengatakan bahwa pengakuan itu baik bagi jiwa. Karenanya saya akan
memulainya dengan mengakui bahwa ateis Stratonisian dipermalukan oleh konsensus
kosmologis jaman sekarang (Big Bang). Tampaknya para ahli kosmologi telah
memberikan suatu bukti ilmiah... bahwa jagat raya memiliki permulaan.1
Teori
Big Bang juga menunjukkan bahwa pada masing-masing tahap, alam semesta
terbentuk melalui penciptaan yang terkendali. Ini jelas dibuktikan oleh keteraturan
yang muncul setelah Big Bang, yang terlalu sempurna jika terbentuk dari sebuah
ledakan tak terkendali. Seorang dokter terkenal, Paul Davies, menjelaskan
keadaan ini:
Sulit
menolak kesan bahwa struktur alam semesta sekarang ini, yang tampaknya begitu sensitif
terhadap perubahan-perubahan kecil dalam angka, telah dipikirkan dengan
cermat.... Kesesuaian menakjubkan nilai-nilai numerik yang menjadi dasar
konstanta-konstanta di alam, tetap merupakan bukti kuat suatu desain kosmik.2
Kenyataan
yang sama membuat profesor astronomi Amerika, George Greenstein, berkata:
Setelah
mengkaji semua bukti, terus-menerus muncul pemikiran bahwa suatu kekuatan (atau
Kekuatan) supranatural pasti terlibat di dalamnya.3
Jadi,
hipotesis materialistis yang me-nyatakan bahwa kehidupan dapat di-jelaskan
hanya dari interaksi materi, juga gugur menghadapi temuan-temuan ilmu
pengetahuan ini. Khususnya, asal usul informasi genetis yang menentukan semua
makhluk hidup, sama sekali tidak dapat dijelaskan dengan kekuatan material
murni. Fakta ini diakui salah se-orang pembela teori evolusi terkemuka, George
C. Williams, dalam artikel yang ditulisnya pada tahun 1995:
Para
ahli biologi evolusionis tidak menyadari bahwa mereka bekerja dengan dua bidang
yang tidak dapat dibandingkan: bidang informasi dan bidang materi... gen adalah
paket informasi, bukan sebuah materi... Pemisah ini menjadikan materi dan
informasi dua bidang berbeda, dan karenanya harus dibahas secara terpisah dalam
bidang masing-masing.4
Situasi
ini merupakan bukti keberadaan Kebijakan Supramaterial yang menciptakan
informasi genetis. Tidak mungkin materi menghasilkan informasi di dalam
dirinya. Direktur Institut Fisika dan Teknologi Federal Jerman, Profesor Werner
Gitt, mengatakan:
Seluruh
pengalaman menunjukkan bahwa diperlukan sebuah pemikiran yang bebas menjalankan
kehendak, kesadaran dan kreativitasnya sendiri. Tak mungkin ada hukum alam,
proses atau urutan kejadian yang menyebabkan informasi muncul dengan sendirinya
di dalam materi. 5
Seluruh
fakta ilmiah ini menjelaskan bahwa alam semesta beserta seluruh makhluk hidup
diciptakan oleh Sang Pencipta yang memiliki kekuatan dan pengetahuan, yakni
Allah. Sedangkan materialisme, seperti diungkapkan seorang filsuf terkenal abad
ini, Arthur Koestler: "Tidak dapat lagi dinyatakan sebagai filsafat
ilmiah".6
1) Henry Margenau, Roy A. Vargesse. Cosmos, Bios, Theos. La Salle IL: Open
Court Publishing, 1992, hlm. 241.
2) Paul Davies. God and the New Physics. New York: Simon & Schuster,
1983, hlm. 189.
3) Hugh Ross. The Creator and the Cosmos. Colorado Springs, CO: Nav-Press,
1993, hlm. 114-115.
4) George C. Williams. The Third Culture: Beyond the Scientific Revolution,
New York, Simon & Schuster, 1995, hlm. 42-43.
5) Werner Gitt. In the Beginning Was Information. CLV, Bielefeld, Germany,
hlm. 107, 141.
6) Arthur Koestler, Janus: A Summing Up, New York, Vintage Books, 1978,
hlm. 250.
Referensi
:
1. Richard
Lewontin, "The Demon-Haunted World", The New York Review of Books, 9.
Januar 1997, S. 28
2. Robert
Shapiro, Origins: A Sceptics Guide to the Creation of Life on Earth, Summit
Books, New York, 1986, S. 207
3.Hoimar
Von Dithfurt, Im Anfang War Der Wasserstoff (Malam Rahasia Dinosaurus), Vol 2,
hlm. 64.
4. Ali Demirsoy,
Kalitim ve Evrim (Vererbung und Evolution), Ankara: Meteksan Publishing Co.,
1984, S. 61
5. Ibid,
hlm. 61.
6. Ibid,
hlm. 94
* * * * *
Sumber: www.harunyahya.com
0 komentar:
Posting Komentar